Part 15

10.8K 901 5
                                    

Monika Sudibyo duduk di ruangan kerja Suharyo. Wanita muda ini terlihat pintar dan menarik. Usianya baru 25 tahun, tapi CVnya sudah berhasil memukau Suharyo. Monik adalah salah satu anak dari kawan lamanya, Jonathan Sudibyo, pemilik perusahaan baja dari Singapore.

Satu bulan yang lalu Suharyo mengeluh pada salah satu kawannya itu tentang Arka. Bahwa ada kemungkinan Arka akan membujang selamanya. Gayung pun bersambut. Putri Jonathan, Monik baru saja tiba di Indonesia dan memutuskan untuk menetap. Jadi mereka pun menyusun rencana, walaupun keduanya sepakat akan tetap menjaga hubungan baik jika Monik dan Arka tidak setuju. Ya, mereka paham saat ini jaman sudah sangat berbeda. Tapi, apa salahnya mencoba. Lima menit berikutnya Arkandra masuk ke ruangan.

"Arka, ini Monik manajer keuangan kita yang baru."

"Hai."

"Halo. Saya Arka."

"Ya saya tahu, siapa yang tidak kenal dengan Arkandra Wijaya si tangan dingin. Persis seperti Ayahnya." Monik tersenyum sambil menjabat tangan Arka.

Arka harus akui bahwa Monik pintar. Sony memang lebih berpengalaman, tapi kemampuan Monik juga mengagumkan. Tapi Arka mencium sesuatu yang tidak beres dari tindak tanduk ayahnya. Mereka berbincang selama 15 menit, kemudian Monik meninggalkan ruangan.

"Yah, aku ga suka dengan ide ini dari awal. Kita punya Sony Yah."

"Sony sudah banyak merangkap selama ini. Dia overload Arka."

"Ada aku Yah. Masa Ayah ga percaya sama aku?"

"Ayah sangat percaya, tapi Ayah tidak suka dengan ide kamu berkubang lagi dengan pekerjaan. Monik ada untuk meringankan kamu. Jadi kamu bisa punya personal life. Menjalin hubungan..."

"Stop!! Ayah tahu aku benar-benar tidak suka jika kita mulai membahas ini. Timku adalah Sony. Silahkan Monik kerjakan proyek yang lain."

Marah dan geram, Arka kembali ke ruangannya. Kenapa Ayahnya tidak mau mengerti dan selalu berusaha mencampuri kehidupan pribadinya. Ponselnya berbunyi. Lana.

"Ada apa?"

"Kenapa lo kasih nomer gue sih ke Elang? Pelanggaran hak privasi namanya."

"Hey, gue ga pernah kasih nomer lo ke Angga dan serius, ini bukan saat yang tepat Lana."

"Ya tapi gue ga suka sama temen kurang ajar lo itu. Pake jemput gue dan usir Tarwo segala."

Arka hanya menghela nafas. Dia masih emosi karena ayahnya, tapi entah kenapa ketika mendengar suara Lana dadanya mulai berdetak tidak beraturan. Sudah 3 hari ini Arka kurang tidur. Bukan karena pekerjaannya, tapi karena wajah Lana si menyebalkan itu melekat tidak mau pergi. Wangi rambut Lana atau bagaimana Lana menangis dalam pelukannya selalu kembali berputar di kepala ketika malam tiba."Iya, nanti gue ngomong sama Angga."

"Ca? Lo sakit ya?"

"Nggak. Gue sehat, kenapa emang?"

"Ya biasanya lo kan marah-marah dan nyebelin." Nada suara Lana melambat.

"Beneran deh Lan, sekarang bukan saatnya." Suara Arka tenang. Hanya untuk menutupi keinginannya untuk melihat Lana saat ini, atau memeluknya sebentar saja. 'Gila!!'.

"Lo berantem sama Daddy?"

Arka tidak menyahut. 'Bukan, gue kangen lo Lan. Arka stop!!' Ia memaki diri sendiri.

"Itu alasan lo kenapa dinner Sabtu kemarin ga dateng?" Karena berantem sama Daddy? Atau Dad marahin lo karena lo ga dateng?"

"Bukan, soal kerjaan." Arka menghela nafasnya perlahan. 'Ini soal elo Lan, kenapa gue selalu mikirin lo begini.' Arka kaget dengan kata-kata dalam pikirannya sendiri.

The Stepsister [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang