Part 23

9.6K 745 8
                                    

Sore itu di kantor. Arka baru saja selesai makan siang dan akan bersiap meeting jam 3 dengan Erlangga dan Rudi untuk check progress proyek amal kantornya. Erlangga tiba satu jam lebih awal dari jadwal dan memutuskan untuk menunggu di ruangan Arka.

"Hi Ka. Sorry gue kecepetan kayaknya."

"It's oke Ngga. Tunggu sini aja dulu. Gue belum ada meeting yang lain kok." Arka mempersilahkan Erlangga masuk ke ruangan kerjanya dan duduk di sofa.

"Kayaknya lagi happy?"

"Kenapa emang?" Arka tersenyum. Ia kembali ke hadapan laptop.

"Ga tau deh. Lo rebih rapih, terus lebih wangi, terus senyum melulu begitu. Jatuh cinta?"

"Yah...mungkin begitu." Arka tertawa sambil melihat Erlangga sekilas.

"Seriously bro? Akhirnya lo move one juga dari Lia?" Erlangga tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. "Wow, who's the lucky lady? Monik?"

"Definetely not. Nanti, nanti juga lo gue kasih tahu."

"Well okey. Kemarin gue lunch sama si Tiger Princess. Kangen banget gue sama mulut pedesnya." Wajah Arka langsung menoleh ke Erlangga yang sedang tersenyum. Arka sempat melupakan jadwal lunch Erlangga dan Lana kemarin karena kesibukannya. Lana juga tidak bercerita apa-apa ketika semalam dia menelpon.

"Lana ngomong apa?" Arka berusaha menghilangkan emosi dalam suaranya

"Tumben manggil dia pake nama? Udah insyaf lo?" Erlangga tertawa. "Dia juga lagi happy. Katanya baru jadian sama pacarnya yang baru."

"Terus?"

"Terus dia minta gue ga hubungin dia lagi, karena katanya pacarnya yang sekarang ini sudah tua dan cemburuan." Erlangga tertawa lagi.

"Terus reaksi lo gimana?"

"Biasa aja. Gue cenderung ga percaya sih. Paling akal-akalan Lana aja biar gue ga hubungin dia lagi. Dia udah beberapa kali ngaku punya pacar, tapi waktu gue cek sebenernya ga ada. Yah namanya juga anak SMA. Nanti juga putus lagi kayak si Awang itu."

"Lo tau Awang?"

"Iya, dulu gue pertama kali ketemu Lana pas lagi di lift kantor ini mau naik keatas. Dia nangis sedih banget mangkanya akhirnya gue ajak dia ke rooftop. Dia ga cerita apa-apa saat itu, cuma nangis dan gue duduk disebelahnya nungguin dia. Gue penasaran juga cowok mana yang bego banget mutusin Lana. Setelah kejadian itu, Lana cerita deh sama gue soal Awang. Kalau gue masih SMA nih, cewek kayak Lana ga akan gue lepasin. Tapi gue harus makasih juga sama si Awang itu. Kalau dia ga putus sama Lana, gue mungkin hanya kenal dia sebatas adiknya Arkandra."

"Lana bukan adik gue Ngga." Arka menegaskan untuk maksud yang berbeda. Namun Erlangga tidak paham. "Kalau dia beneran punya pacar gimana?"

"Arka, gue itu udah ga nyari pacar kali. Biarin aja si Lana pacaran sekarang sama siapapun yang dia mau. Nanti kalau dia udah lulus kuliah, baru gue serius kejar dia. Sekarang, yang penting kalau gue kangen masih bisa ketemu dia. Itu aja cukup."

Ekspresi wajah Arka berubah. Ia tidak menyangka jika kawannya Erlangga seserius itu dengan Lana. "Angga, lo serius sama Lana?"

"Mungkin nantinya. Sekarang, santai aja. Tumben lo nanya-nanya soal Lana. Biasanya ga perduli."

"Sebenernya gue..." Pintu Arka diketuk. Dewi sudah dipintu.

"Pak, sudah ditunggu oleh Pak Rudi dan team di ruang meeting."

Arka gusar karena belum bisa menjelaskan apapun ke Erlangga. Niat kawannya itu untuk menunggu Lana harus dihentikan. Pikirannya mulai bercabang saat meeting dimulai.

***

Lana duduk menunggu di salah satu kafe di Jakarta. Masih pukul 10.55 siang. Setelah urusannya dengan Lukman selesai dia sudah ada janji dengan dua sobatnya. Lalu beberapa menit kemudian Lana melihat sosok pria berusia 40-an itu masuk ke dalam kafe. Lukman tidak pernah telat, begitu kata mamanya dulu. Dan mamanya benar.

"Hi Pak. Maaf tiba-tiba saya ajak ketemu Bapak." Lana berdiri menjabat tangan Lukman.

"Tidak apa-apa, memang sudah tugas saya." Mereka kembali duduk.

"Pertama, saya minta pertemuan kita hari ini dirahasiakan dari siapapun. Termasuk ayah saya, Suharyo Wijaya. Terutama dari beliau sebenarnya. Okey?"

Lukman mengangguk. Bagaimanapun juga Lelana Gunadi adalah klien nya sekarang.

"Kedua, seharusnya dana pendidikan saya sudah bisa cair. Apa benar? Apa Ayah saya sudah hubungi Bapak?"

"Ya benar. Bukan hanya dana pendidikan, warisan dan lini usaha Ibu Sinta sudah langsung bisa di akses. Dan Pak Suharyo belum menghubungi saya."

"Bagus. Untuk saat ini saya hanya butuh dana pendidikan saja. Itu sudah lebih dari cukup. Yang lainnya saya akan urus ketika kembali ke Jakarta. Tolong bilang saja ke beliau dana itu tertahan pencairannya. Jangan pernah bilang pada Ayah saya jika saya ingin gunakan dana tersebut."

"Okey." Lukman tidak bertanya.

"Selanjutnya, ini yang paling penting. Tolong bantu urus semua dokumen saya, baik untuk pendaftaran dan juga untuk bepergian, ijin tinggal, visa dan sebagainya. Tempatnya akan saya infokan lewat email."

"Kamu akan bepergian tanpa sepengetahuan Pak Suharyo?"

"Tanpa sepengetahuan siapapun. Harus ada yang saya urus disana. Kamu tahu maksud saya kan? Persis seperti apa yang saya sudah jelaskan semalam di telpon."

"Okey."

"Yang terakhir, tolong bantu carikan tempat tinggal di dua tempat dengan jangka waktu sewa yang berbeda. Saya akan email juga detailnya. Jelas Pak?"

"Jelas."

"Lagi-lagi saya ingatkan. Tidak ada yang boleh tahu soal ini. Saya yakin Bapak bisa menyimpan rahasia."

"Ya. Baik." Lukman menjawab pendek. "Jika sudah saya permisi kembali ke kantor. Saya tunggu emailnya." Mereka kembali berjabat tangan.

Lana tersenyum puas. Urusan dengan Lukman memang selalu mudah dan singkat. Tapi saat ini gerak geriknya terbatas karena ayah selalu memantau. Lana yakin ia tidak melakukan hal yang salah. Satu hal yang ia belajar dari hidupnya yang tidak pasti. Selalu baik untuk menyusun rencana cadangan. Ini hanya untuk berjaga-jaga, jika kemungkinan buruk terjadi.

'Ini untuk kamu Arka, juga Ayah.' Lana berujar dalam hati.

***

Laki-laki itu berlari terengah-engah seperti kesetanan menembus gelapnya malam. Kepalanya terus bolak balik melihat ke belakang. Bang botak sudah memastikan dia akan aman, tapi ia tetap saja ketakutan. Karena jika ia tertangkap kali ini ia akan dihabisi. Entah oleh Tuan big bos-nya atau Bang Botak sendiri. Tuan sudah membayar mahal untuk kebebasannya karena beberapa barang masih ia simpan dan ia harus menyelesaikan pengiriman yang tertunda. Sementara Bang Botak mempertaruhkan reputasinya. Suara motor di ujung jalan sudah terdengar. Ia segera naik di belakang si Dono anak buahnya yang segera melaju kencang.






The Stepsister [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang