Kalo ada penulisan kata yang salah, tolong dibenerin ya..
***
Tidak semua murid dari kalangan beasiswa pergi kekantin saat dijam istirahat. Mereka lebih baik membawa bekal dari rumah dari pada harus beli dikantin. Bukannya mereka tidak suka makanan yang tersedia dikantin. Tapi, karna mereka sadar tidak pantas makan bersama dengan murid kelas unggulan. Dari pada mendapat masalah lebih baik mereka mengalah, untuk tidak makan dikantin.
Dan seperti biasa keenam gadis itu menghabiskan waktu istirahatnya dikursi penonton lapangan basket dengan memakan bekal yang mereka bawa. "Kalian tahu, aku tidak pernah membeli makanan dikantin." Kelima gadis itu menganggukan kepalanya seraya memakan bekal mereka, saat mendengar perkataan dari Lea. Yang kini mulutnya penuh dengan makanannya, sehingga membuat Alyana yang berada disamping kanannya langsung menyemburkan tawanya. Dan diikuti oleh Nindy dan Lunna, mereka berdua tertawa sampai menepuk-nepuk tangan mereka.
Kania yang berada disamping Alyana memiringkan kepalanya, untuk melihat wajah Lea yang menjadi bahan tawa Alyana, Lunna, dan Nindy. Dan seketika itu, Kania juga meledakan tawanya, seraya memukul gemas lengan Della yang berada di sampingnya. Membuat Della cengoh karna melihat teman-temannya. Memangnya apa yang tengah mereka tertawakan? Dirinya tidak bisa melihat wajah Lea karna dirinya duduk paling ujung.
Sedangkan Lea langsung menelan makanya yang berada didalam mulutnya, tanpa dikunyah kembali. Lalu tangannya bergerak menjitak kepala Alyana dan Lunna, karna mereka berdua yang berada didekat dirinya. Sedangkan Nindy dan Kania, tangannya tidak sampai untuk menjitak kepala mereka berdua.
"Ya, kenapa kau malah menjitak ku?" Tanya Alyana yang mengusap bagian kepalanya yang mendapat jitakan dari Lea. Sedangkan Lunna malah mengeraskan tawanya, sehingga membuat beberapa pasang mata yang berada disana langsung menatap kearah Lunna dengan pandangan yang berbeda-beda. Untung saja yang berada disana hanyalah murid-murid dari kalangan beasiswa.
Tapi, tanpa mereka sadari ternyata dari arah lapangan basket, para pemuda yang kerap sekali membully kini menghentikan aktivitasnya yang tengah bermain basket, saat mendengar tawa dari Lunna. Mereka hanya menatap sebentar satu sama lain, lalu beralih menatap dengan kening yang mengerut, kearah keenam gadis yang kini tengah tertawa karna kebodohan Lunna yang tidak bisa menghentikan tawanya.
"Apa mereka sudah gila? Makan sambil tertawa." Tanya Aldyan dengan menggelengkan kepalanya. Sedangkan teman-temannya masih setia menatap kearah gadis-gadis itu.
"Mereka berbeda dengan murid yang lain." Ujar Arkan yang menatap gadis-gadis itu tidak percaya.
"Mungkin sedikit kejahilan itu akan menarik." Senyum smrik kini muncul dibibir Aldyan. Saat bola basket yang berada ditangan Aldyan, yang akan pemuda itu lempar kearah enam gadis itu. Kini terhenti saat seorang Arsya langsung merebut bola itu kembali.
"Biarkalah mereka makan, untuk mengisi perut mereka." Ucap Arsya seraya mendribel bola itu, lalu memasukannya kedalam ring basket. Dan sayangnya bola itu meleset, tidak masuk kedalam ring itu. Sehingga membuat teman-temannya tertawa.
Dilain sisi seorang wanita yang tengah melihat keenam gadis itu dari jarak yang tidak begitu jauh, ikut menyunggingkan senyum tipis di bibirnya. Ia jadi teringat saat dirinya seumuran gadis-gadis itu. Waktu dirinya masih bersekolah tidak pernah memiliki seorang teman, tersenyumpun waktu itu dirinya sangat jarang sekali. Yang hanya di pikirannya waktu itu hanyalah belajar, belajar, dan belajar. Agar mendapat posisi pertama disekolah. Tapi tidak hanya dirinya saja yang selalu menghabiskan waktunya untuk belajar, murid-murid seangkatannya waktu itu juga sama sepertinya. Seandainya waktu itu, dirinya masuk kekelas beasiswa, mungkin ia akan lebih banyak tersenyum.
Sekarang kelas unggulan dan kelas beasiswa kini malah terbalik, waktu itu dirinya bersekolah disini. Kelas unggulan tidak pernah memainkan handphone didalam kelas, mereka hanya fokus dengan materi yang di sampaikan guru didepan. Karna tidak ingin kalah saing dengan kelas kalangan beasiswa. Tapi saat ini semua murid unggulan tidak perduli dengan itu. Bahkan nilai mereka dibawah murid-murid dari kalangan beasiswa.
"Sepertinya aku akan mengubah sedikit peraturan sekolah ini." Guman pelan wanita itu yang masih setia memandang kearah keenam gadis itu. Terutama gadis yang bernama Alyana. Dirinya penasaran dengan gadis itu, siapa sebenarnya gadis itu? Kenapa kalung yang dia pakai sama persis dengan miliknya? Apa dia saudaranya? Yang menghilang 18tahun yang lalu.
Bunda pernah bilang kepada dirinya, kalung seperti itu hanya dimiliki oleh keluarganya saja. Tapi dirinya juga tidak bisa langsung percaya, bahwa gadis itu adalah saudaranya. Ia harus cari tahu siapa gadis itu. "Cari tahu siapa gadis yang bernama Alyana itu." Ucap pelan wanita itu kepada perempuan yang tak lain adalah kepercayaan wanita itu.
"Berhentilah tertawa, habiskanlah makanan kalian dulu." Ujar Della yang menatap teman-temannya dengan memiringkan kepalanya.
Sedangkan kelima gadis itu mulai meredakan tawanya, dan memakan bekal mereka. Manik mata Kania tidak sengaja melihat kearah lapangan. Ia meyipitkan matanya saat gadis yang tadi pagi dibully, kini menghampiri pemuda yang tengah bermain basket. "Bukankah itu Laila, gadis yang tadi pagi dibully oleh mereka." Tunjuk Kania lalu tangannya langsung di turunkan cepat oleh Della.
"Jangan menunjuk kearah sana, jika kau tidak ingin mendapat masalah." Ujar Della sebelum melihat kearah lapangan.
"Apa kita harus kesana? Untuk membatunya." Ucap Alyana yang melihat Laila tengah didorong oleh pemuda yang bernama Gandhi.
"Kita lihat dulu, seperti apa yang akan mereka lakukan." Sahut Nindy dan memakan bekalnya yang masih sedikit.
Kenyataannya bukan para pemuda itu yang mencari masalah dengan Laila. Gadis itulah yang selalu menghampiri para pemuda itu, sehingga membuat mereka risi. Apalagi seorang Gandhi. Dirinya tidak suka jika diganggu oleh gadis yang tidak ia kenali, apalagi dari kalangan beasiswa. Kecuali gadis yang selama ini tidak bisa ia genggam.
"Bukankah, sudah ku peringatkan berulang kali. Jangan pernah menggangu hidupku." Timpal Gandhi dengan sedikit membentak gadis yang ada di hadapannya.
Akhir-akhir ini gadis itu selalu muncul dimanapun dirinya berada. Dan ia paling tidak suka diganggu. "Apa sayatan ditelapak tanganmu itu belum puas untuk memperingatkan dirimu?"
Tidak ada sahutan dari gadis itu, sehingga membuat Gandhi murka. Saat ingin memukul wajah gadis itu, Arsya yang berada didekat Gandhi langsung menahan temannya itu, agar tidak memukul seorang perempuan. "Kau lupa bahwa putri pemilik yayasan ini datang kemari, jika dia melihatnya kau pasti kena semprot olehnya." Gandhi melepaskan tangannya yang dipegang Arsya lalu berjalan pergi meninggalkan lapangan dengan tampang yang begitu kesal. Dan diikuti oleh teman-temannya.
"Suatu saat kau juga akan mencintai diriku Gandhi." Guman pelan gadis itu yang menatap punggung Gandhi. Lalu membalikan tubuhnya, dan manik matanya langsung menangkap enam gadis yang kini tengah menatapnya juga. Tanpa menyunggingkan senyum di bibirnya, Laila pergi dari lapangan itu dengan wajah yang datar.
Dan tanpa mereka ketahui, wanita itu masih berdiri tak jauh dari mereka. Dan wanita itu tidak percaya apa yang tadi dirinya lihat. "Panggil para pemuda itu untuk datang keruangan ku. Terutama Gandhi." Ucap wanita itu kepada bawahannya, sebelum berjalan kearah dimana ruangannya berada.
-About Us-
Lanjut gak ni?😪
KAMU SEDANG MEMBACA
About Us
Teen FictionCOMPLETED Hidup bersama sendari kecil didalam panti. Mereka tidak tahu dari mana asal mereka. Tidak ada satupun juga yang ingin mengadopsi keenam gadis itu, sampai pengurus panti menghembuskan napas terakhirnya pun mereka masih menepati panti itu. S...