Kalo ada penulisan kata yang salah, tolong dibenerin ya..
***
"Apa sebenarnya yang kalian incar dari kami?" Suara itu memecahkan keheningan didalam mobil itu. "Ya, aku bertanya kepada kalian wahai para pemuda. Apa yang kalian incar dari kami? KENAPA KALIAN TIDAK MENJAWABNYA?"
Refleks Alyana yang duduk disamping gadis itu langsung memukul lengan Lea sedikit keras, membuat gadis itu meringis kesakitan seraya mengelus-ngelus lengannya itu. Lalu menatap Alyana dengan tatapan tajam. Sehingga Nindy melebarkan senyumannya, karna melihat Lea yang tidak ditakuti sama sekali dengan seorang Alyana. "Kau, berhentilah tersenyum."
"Memangnya kau itu siapa? Menyuruhku berhenti tersenyum." Sahut enteng Nindy saat Lea langsung menunjuk dirinya itu.
"Kau itu sama saja, menyebalkan."
"Bukankah kau sama menyebalkannya, mungkin lebih parah dari pada mereka." Timpal Kania yang sejak tadi hanya diam dan bergelut dengan pikirannya, membuat Lea semakin kesal dengan semua orang yang berada dimobil itu.
"Ya, kau yang menyetir. Aku tahu, kau sekarang tengah tersenyum mengejekku." Seketika itu Gandhi yang merasa bahwa dirinya saja yang menyetir langsung melunturkan senyumannya dari bibirnya itu. Pemuda itu kini tengah bertanya-tanya kepada dirinya. Kenapa seorang Lea tahu? Bahwa dirinya tengah tersenyum mengejek gadis itu. Apa dia bisa membaca pikiran orang lain?
"Kau ingin tahu, kenapa kita mengincar kalian?" Anggukan cepat dari Lea saat mendengar penuturan dari seorang Ganang. "Kita itu mengincar kalian, karna... Hatimu." Diakhir kalimat pemuda itu mengedipkan sebelah matanya. Membuat Lea langsung memukul kepala Ganang sekeras mungkin.
"Dari pada kau banyak bicara, lebih baik kau turun sana." Usir Gandhi yang menghentikan mobil itu didepan rumah yang sering sekali dirinya datangi. Lea hanya melihat keluar mobil sebentar, lalu menatap Gandhi tidak percaya.
"Kau yakin ingin menurunkan ku disini?" Tanya Lea yang tidak direspon oleh Gandhi.
"Kenapa tidak, ayo." Sahut Arkan seraya menyeret Lea keluar mobil itu. Dan pemuda itu mengucapkan banyak terima kasih kepada Gandhi yang telah mengantarkan dirinya sampai rumah dengan selamat, sehingga membuat Gandhi bergidik ngeri karna perkataan yang di lontarkan oleh temannya itu.
"Wahh, rumah siapa ini?" Ujar Lea yang terkagum-kagum melihat bangunan rumah di depannya itu. "Seandainya aku punya rumah seperti ini, aku akan betah dirumah. Dan tidak akan keluar rumah."
Tanpa disadari Arkan tersenyum simpul mendengar perkataan dari Lea. Dirinya masih berdiri disamping gadis itu. Sampai Lea tersadar akan mobil yang dirinya tumpangi sudah tidak ada. "Ya, kemana mobil itu? Kenapa aku ditinggal disini bersama mu?"
"Kau akan tahu jawabannya, masuklah." Sahut Arkan seraya berjalan masuk kerumah itu. Tapi hanya sampai lima langkah Arkan menghentikan langkahnya lalu menoleh kebelakang untuk melihat Lea yang tidak bergeming dari posisinya, membuat pemuda itu menghampiri gadis itu. "Ya, kenapa kau diam saja? Masuklah."
"Aku tidak pantas masuk kedalam rumah itu." Lirih Lea menatap Arkan yang mengangkat sebelah alisnya.
"Siapa yang bilang kau tidak pantas masuk kerumah itu?" Tidak ada jawaban dari Lea. Gadis itu hanya menundukan kepalanya. Lea sadar siapa dirinya. "Oh ayolah, apa kau tidak pegal berdiri disini terus?"
"Aku akan pergi kesekolah." Saat Lea membalikan tubuhnya, lengan kirinya langsung dicengkram pemuda itu dan menarik Lea untuk masuk kerumah itu.
Sedangkan Lea sempat meronta atas kelakuan Arkan kepadanya, sampai Arkan membawa Lea benar-benar masuk kedalam rumah yang begitu sangat mengaggumkan dimata seorang Lea. "Duduklah." Lea hanya menurut apa yang dikatakan Arkan kepadanya sampai seorang laki-laki yang jauh lebih tampan dari Arkan juga duduk disofa hadapan Lea. Laki-laki itu membuat Lea mengembangkan senyumannya. Sedangkan Arkan yang melihat gadis itu langsung menoyor kening Lea. "Kau tidak boleh menyukainya, karna kau milik Leon."
KAMU SEDANG MEMBACA
About Us
Teen FictionCOMPLETED Hidup bersama sendari kecil didalam panti. Mereka tidak tahu dari mana asal mereka. Tidak ada satupun juga yang ingin mengadopsi keenam gadis itu, sampai pengurus panti menghembuskan napas terakhirnya pun mereka masih menepati panti itu. S...