Epsilon

6.3K 208 65
                                    

Epsilon memang gila sejak dulu. Beberapa tahun yang lalu saat kapsul ajaibnya itu diluncurkan, derajat kegilaannya tambah parah. Pelanggannya juga menggila di seluruh negeri. Mereka memohon belas kasihan padanya walaupun harus menumbalkan deposito, tanah dan harta. Semua itu karena Epsilon punya satu benda ajaib yang tak dimiliki siapa pun. Ia punya obat antikanker, dan itu gila.

Fantastis betul. Berita baiknya (atau malah yang buruk) adalah, di jagat ini, tidak ada lagi obat antikanker yang lebih mumpuni daripada buah karya Epsilon. Obatnya bukan macam obat abal-abal. Begitu obat itu masuk, sel-sel kanker benar-benar ciut. Lenyap dalam hitungan hari. Betul-betul obat ajaib.

Ada lebih dari enam juta kematian setiap tahun di dunia karena kanker. Sejak epidemi kanker di negeri ini meningkat sepuluh persen dalam tiga tahun dan menempatkannya jadi nomor dua di dunia, Epsilon kebanjiran uang. Kasnya bengkak. Kemudian akhir tahun lalu, ia tiba-tiba mengejutkan pemerintah dengan usulan pembelian lahan seluas dua ratus lima puluh hektar di lereng Gunung Sanghyang seharga dua triliyun rupiah,—satu lagi bukti bahwa derajat kewarasan korporasi itu memang patut diawasi.

"Gila, 'kan?" begitu cuap Ekayana Pranawangsa lewat mikrofon ponselnya. "Epsilon menyanggupi harga setinggi itu persis seperti membeli obat penurun panas di minimarket."

Jika ada satu saja manusia yang mesti diteleponnya menyangkut segala hal tak wajar, maka itu adalah Dhira Tanuja. Tidak ada yang lebih getol diperbincangkan orang selain rentetan kegilaan manusia yang tak berujung-pangkal. Setiap hari media berlomba jadi gila. YouTuber paling kaya adalah dia yang memanggang adonan kue yang dikocoknya dalam lambungnya sendiri, lalu dimuntahkan. Akan tetapi Epsilon adalah sebuah pengecualian tak terbantahkan. Apa pun yang membuat pejabat pemerintah pusing adalah kegilaan sungguhan yang serius.

"Bagaimana menurutmu?" tuntut Ekayana. Tubuhnya berayun-ayun resah di kursi kerja.

"Pernahkah kakekmu berpesan agar tidak percaya pada kata-kata pedagang obat?" Dhira membalas. Pria berambut pendek itu bangkit dari sandaran kursi, mulai mondar-mandir di tengah deretan meja penuh buku dengan ponsel tertempel di kuping kanan. Dilewatinya beberapa lemari kabinet, tumpukan kertas yang menguning, dan sebidang tembok penuh tempelan foto ekskavasi terakhir yang dilakukan timnya di ceruk-ceruk gunung. Orang-orang semacam dirinya juga adalah kumpulan orang gila yang terobsesi pada pecahan tembikar, lengan patung kuno, bahkan tumpukan kotoran manusia purba. Jadi, dalam batasan tertentu, dia tak ada bedanya dengan Epsilon. Tak ada alasan buatnya untuk mencurigai sesama entitas gila, kecuali jika Epsilon mulai membaca buku mekanika kuantum dan berkata bahwa mereka akan membuat hulu ledak nuklir.

"Uang sebanyak itu justru membuat orang-orang pemerintahan takut, Profesor," Ekayana melirik jam dinding kantornya. Sudah hampir jam makan siang. Lambungnya mulai gundah. "KPK ada di mana-mana. Pejabat jujur seperti diriku ini bakal mati dengan rompi jingga kalau aku sampai dituduh korupsi."

"Kalau begitu ini memang benar-benar murni masa­lah uang." Dhira gerah. Tungkainya resah melewati satu-dua meja dengan tumpukan berkas, lalu berakhir buntu di depan lemari kaca di mana setumpuk lontar kuno berjejal. Tatapannya menembus kaca jendela di antara jajaran lemari, terpukau pada bukit selatan Singaraja yang puncaknya tertutup gumpalan awan putih. "Bagi kalangan politisi dan elit ekonomi, menjaga tradisi finansial adalah semacam ritual purba sejak zaman VOC. Tapi menyerahkan situs Gunung Sanghyang bakal mencoreng nama baik seluruh cabang ilmu arkeologi, lengkap dengan dana hibah seluruh penelitinya, termasuk lensa kacamataku ini."

"Dhira," Ekayana bergemerisik dalam jaringan. "Aku hanya sedang memperkenalkanmu dengan sekelompok pedagang obat yang bingung karena terlalu kaya."

Seseorang mengetuk pintu. Kuping Dhira melejit ringan. Mahasiswa barangkali.

"Sudah tabiat saudagar, Ekayana," Dhira memelintir beberapa lembar kertas kusam, seolah-olah kekacauan pikirannya bersumber dari sana. "Apa mau mereka sebenarnya?"

Haricatra (Trilogi Pertama, Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang