Jangan Katakan Selamat Tinggal

1.1K 107 34
                                    

Hanya ada satu bandara internasional di pulau dewata, dan letaknya di kaki pulau, di sebuah dataran semenanjung sempit yang diurug pada masa kolonial. Tatkala bandara itu dibangun di masa pendudukan Jepang, ratusan orang bekerja tanpa upah untuk melan­daikan tanahnya, bergilir satu desa dengan desa lain selama tiga hari sekali. Makanan mereka hanya bubur beras dicampur singkong dan garam. Menyedihkan. Sulit dipercaya bahwa bandara internasional semegah itu dibangun di atas cucuran keringat pemuda-pemuda yang dibayar hanya dengan tiga mangkok bubur, serta tetesan air mata lelaki yang dipaksa meninggalkan anak dan istrinya di desa tanpa pesangon sepeser pun.

Jalan masuk bandara begitu rumit, mirip labirin dengan banyak sekali petunjuk arah. Tiga jam di perjalanan saja sudah membuat Ketut Nada pusing. Lumayan. Dari ujung utara sampai ujung selatan pulau Bali bukan hanya perkara jalan yang panjang, tetapi juga suhu yang berubah-ubah.

Ada papan petunjuk besar di sisi kiri. Ketut Nada harus membacanya pelahan: International Departure. Setir dibeloknya. Tangannya sama gemetarnya dengan Wahyuni. Jika Nyoman Padmi ikut ke sana, perempuan itu pasti pingsan. Anaknya tidak lagi naik bus, tetapi terbang!

Mereka menyeberang ke drop zone setelah Ketut Nada memarkir mobil di gedung parkir seberang. Bangunan kubah bandara menjulang tinggi-besar, melengkung dengan ruas-ruas baja batangan yang dihias cantik dan dibiarkan terbuka. Seluruh bandara itu berdiri di pertiwi Desa Tuban, di mana awan-awan jadi barang langka. Di gerbang kedatangan, manusia-manusia tiba dari ujung dunia, mencicipi secuil kemurnian Bali, lalu mengoyaknya sampai hancur.

"Sudah siap?" Ketut Nada menawari keponakannya air mineral. Sepanas apa pun Singaraja, kaki pulau Bali itu jauh lebih gersang. Baru lima menit Ketut Nada terpapar angin Laut Benoa, bibirnya sudah pecah-pecah.

Wahyuni menghitung jumlah tasnya sambil menelan beberapa teguk air. Satu dan dua. Koper kecil itu hanya muat untuk pakaian seadanya. Segalanya bisa dibeli di Australia,—buku, pensil, kertas... sampai odol dan sikat.

Ketut Nada menepuk bahu keponakannya yang pemberani itu. Troli didorong. Mereka melangkah di antara manusia berbagai bangsa yang mondar-mandir. Seorang turis pria berkaos tanpa lengan menyalip mereka, berbicara lantang lewat ponsel dengan bahasa yang tak dikenal. Di deretan lain, beberapa remaja seumurnya tengah bercakap-cakap asyik dengan bahasa Inggris yang mencucur lancar bagai kicauan burung seriti.

"Setelah kamu masuk gerbang kaca itu, Pak Tut tidak bisa ikut," jelas Ketut Nada. "Kamu mesti jalan sendiri."

Wahyuni mengangguk pasti. Dirogohnya lembaran tiket yang terlipat rapi di dalam tas. Di depan gerbang kaca, seorang petugas memeriksa satu per satu tiket yang dibawa calon penumpang.

Anak itu berhenti. Dada Ketut Nada gelisah bukan main.

"Tolong jaga meme, Pak Tut," pinta Wahyuni.

"Jangan khawatir," Ketut Nada mencekal bahu keponakannya. "Ibumu pasti Pak Tut jaga. Dia aman di rumah kami."

Jawaban yang melegakan. Wahyuni memeluk pamannya dengan erat.

"Jaga dirimu, Putu," Ketut Nada hampir menangis. Wahyuni adalah satu-satunya keponakan perem­puan yang dia miliki. Perjuangan anak itu sungguh berat sejak kecil. Hanya keajaiban Tuhan yang membuat anak itu masih bertahan dalam wataknya yang lurus. Dia bangga. Gadis pemberani itu adalah bukti nyata kasih sayang dan ketulusan Nyoman Padmi.

Mereka mesti berpisah. Tiga jam sebelum keberangkatan, semua penumpang sudah harus mendaftar. Kembali Wahyuni harus dikejar waktu. Ketut Nada menyerahkan troli, membiarkan keponakannya mendorong sendiri, melangkah maju di jalannya sendiri. Tak membiarkan rasa batinnya terlena lebih jauh, lelaki itu memutar haluan, melangkah menjauh, menunggu kabar terbaik. Menahan seseorang hanya karena tak sudi dijejal rindu tak akan membuat kemajuan apa pun. Yang ada hanya kemanjaan. Wahyuni memang harus pergi. Masa depannya ada di ujung selatan dunia, bukan di bawah pohon flamboyan Singaraja.

Haricatra (Trilogi Pertama, Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang