Sepakat

475 65 0
                                    

Ruangan itu terang dan dingin. Lampu kotak di langit-langit berpendar sejuk, selembut rembulan putih di tabir awan penghujan. Hanya itu kesan pertama tatkala mata anak itu terbuka. Selanjutnya adalah pening yang menghujam kepala. Kembali ditutupnya matanya. Langit-langit itu dilihatnya beriak-riak dan mau runtuh.

Anak itu meringis hebat. Lengan kirinya jadi sarang rasa nyeri. Ada perban tebal dan ketat yang membalut bekas lukanya, membuat sekujur lengan itu benar-benar kaku.

Seseorang bangkit cepat dari kursi, mendekati ranjang di mana anak itu berbaring. Seketika Haricatra tersadar penuh dan melonjak tatkala tangan asing itu menyentuh dahinya.

"Bapak...!" panggilnya gamang. Terhuyung-huyung kepala bocah itu. Efek obat biusnya masih belum pudar.

Bibir orang itu mendesis, mencoba menenangkannya. "Kamu belum pulih betul," dia duduk di tepi ranjang. "Jangan panik."

Beberapa kali Haricatra mengedip. Wajah orang itu samasekali buram, seperti lunturan cat foto yang dirajam hujan. Tak lama kemudian, pria itu tampak jauh lebih jelas, lengkap dengan senyumnya yang ramah.

Haricatra meringis. Perutnya bergelincak. Pria itu membantunya bersandar di ranjang yang warna biru terangnya nyaris sama dengan pakaian pasien yang membalut tubuh remajanya. Entah siapa yang telah mengganti seluruh pakaian apak di badannya itu dan dengan cara apa, Haricatra tak paham. Di balik kostum pasien biru terang yang kedodoran itu dia benar-benar tak memakai selembar pakaian pun. Sekujur tubuhnya berbau seperti antiseptik. Barangkali segerombolan perawat telah memandikannya dengan seember penuh alkohol sebelum dia dibaringkan di ranjang yang lembut itu. Rasanya seperti terlentang di awan.

"Namaku Soni," pria itu menepuk-nepuk bahu Haricatra, memastikan sandaran badannya cukup kuat. "Aku benar-benar minta maaf atas semua kejadian ini."

"Mana bapak dan ibu saya?!" luap Haricatra dengan suara parau yang keruh.

Lalu anak itu batuk-batuk. Bahkan bernapas saja dia tidak kuat.

Hawa dingin ruangan itu telah merasuki paru-parunya entah sejak kapan. Berapa lama dia telah pingsan dan perlakuan apa saja yang orang-orang Epsilon itu telah perbuat pada badannya samasekali tak bisa dilacaknya dalam ingatan. Saat itu hanya dingin yang dia rasakan, apalagi dengan tubuh hanya dilapisi selembar kain tipis.

"Jangan khawatir," Soni menggeser badannya lebih dekat. "Kami bukan gerombolan preman, Nak. Kedua orang tuamu baik-baik saja."

Mata Haricatra berkelana di sekujur ruangan. Tak ada penunjuk waktu. Entah pukul berapa saat itu dan hari apa. Memikirkan itu membuat kepalanya senut-senut lagi. Di sisi jauh, sekotak AC meniup udara dingin tanpa suara. Ruangan itu dikelilingi dinding putih yang mengingatkan siapa pun pada bagian dalam sebuah igloo. Saking bersihnya dinding itu, cahaya lampu terpantul sempurna, membuat kesan seolah-olah seluruh ruangan itu bercahaya. Di sisi kanan, sebentang jendela kaca buram meneruskan cahaya di sela-sela bilah tirai putih. Entah itu cahaya matahari atau sebuah lampu besar dari ruangan sebelah, Haricatra tak yakin.

Dan wajah Soni di hadapannya itu memangkas semua rasa ingin tahu. Di mana pun saat itu dia berada, dia sudah masuk bulat-bulat ke mulut Epsilon.

"Akhirnya aku bisa bertemu denganmu," Soni menegakkan badan. Dia sedang mengenakan selembar jas laboratorium putih yang memanjang hingga lutut. Di dadanya selajur dasi krem cerah terjuntai, serasi dengan kemejanya yang biru terang. Wajahnya tampak begitu muda, dan mata cendekianya berbinar mantap di balik lensa kacamatanya yang tipis.

Mata Haricatra masih liar. Pergelangan tangan kanannya ditempeli plester infus. Seuntai selang kecil melingkar di sana seperti seekor cacing transparan. Selang itu terpisah dengan selang infus utama yang mengalirkan cairan dari botol yang digantung di tiang logam di sisi kanannya. Melihat botol plastik itu telah benar-benar kempes dan kering, Haricatra bisa menduga bahwa dia sudah pingsan cukup lama.

Haricatra (Trilogi Pertama, Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang