Cinta Dua Sisi

510 70 0
                                    

Ada patung lumba-lumba kembar di tepi Pantai Lovina. Tiap sore, patung yang bergaya di puncak menara beton setinggi delapan meter itu berubah jadi jingga ditimpa cahaya matahari. Anak-anak sering ngotot bahwa mata patung itu hidup setiap malam bulan purnama. Di belakang patung itu terhampar Laut Bali yang ungu, dengan gelombang pantai yang senantiasa jinak di musim apa pun. Hampir setengah abad lalu, raja terakhir Kerajaan Buleleng menamai pantai ini Lovina,—love Indonesia, karena pemandangannya yang memikat. Anak-anak kuliah mengubur separuh hati mereka di pasirnya yang putih, meninggalkan memori yang sulit dilupakan. Sudah tradisi lama.

Jalanan mulai ramai di jam pulang kerja. Haricatra mengebut di sepanjang jalan besar yang lurus ke barat, menghubungkan peradaban Singaraja yang tua, Pulaki yang jauh lebih tua, dan Gilimanuk yang tak pernah terlelap. Mengayuh sepeda dari rumahnya di sisi selatan kota sampai patung lumba-lumba Lovina di barat perlu waktu setengah jam. Orang-orang kota kecil lebih memilih tinggal di rumah kala sore seperti itu, menghirup atmosfer perumahan suburban bersama keluarga hingga larut malam. Mungkin hanya ada sebagian orang yang bekerja hingga larut. Ayahnya, contohnya,­—terutama pada pertengahan dan akhir semester saat pekerjaan mahasiswa menumpuk untuk diperiksa. Selama seminggu ayahnya kadang membawa sikat gigi, sabun dan handuk ke kampus,—mandi di kamar mandi dosen, dan tidur di sofa kantor. Maniak. Setidaknya itu jauh lebih layak ketimbang tidur di tenda saat penelitian sebulan di Gunung Padang tahun 2013 silam.

"Kukira kamu bakal tersesat," Wahyuni melompat turun dari sepeda sebelum Haricatra genap mengerem. Tadi gadis itu dijemput dari rumah pamannya, lalu keduanya berboncengan. Beruntung ada dua tempat duduk di sepeda itu. Menggandeng teman sebaya cukup berat juga. "Pernah ke sini sebelumnya?"

Haricatra turun. Sepedanya disandarkan begitu saja di sisi balai kayu tempat orang-orang biasa bersantai. "Dulu aku sering naik sepeda ke sini," terangnya. "Sejak ada Geng Panda, aku jadi malas."

Langit kala itu telah meredup. Awan-awan bersatu-padu di atas kepala, membentuk perisai besar yang berujung di atas bukit selatan. Di tepi perisai awan yang kelabu pekat itu, langit lembayung mengintip. Lampu-lampu jalan belum menyala, namun para pedagang kerang sudah kelelahan. Kadang mereka membunyikan terompet kerang yang terdengar seperti gajah sekarat yang melenguh-lenguh, meneriaki dunia yang makin kejam.

Keduanya lalu menyisir pantai, di batas pasir yang separuh basah. Sesekali ujung ombak yang hangat menggapai kaki mereka. Wahyuni agaknya perlu sedikit dihibur. Baru saja dia dan ibunya kehilangan rumah karena digadai si bapak. Mereka kini mesti menumpang di rumah sang paman. Untung jaraknya tak jauh.

"Seminggu ini saja," Haricatra memelas pada hamparan pasir di depannya. "Aku pasrah. Berapa pun nilaiku, aku terima. Aku memang bodoh."

"Kamu selalu begitu," Wahyuni menendang pasir ke arah sapuan gelombang. Aroma garam menipis. Disimaknya bisikan gelombang yang saling sahut.

"Presentasi portofolio kolaborasiku kurang dua, Wahyuni," Haricatra mengobrak-abrik pasir dengan kaki. "TKD matematikaku juga pasti nol besar."

Babak penentuan akhirnya tiba, dan di sana semua anak bakal menunjukkan kinerjanya selama SMP, dan ilmu apa saja yang sudah mereka kuasai. Yang malas akan menyesal karena kiprahnya sedikit. Yang rajin akan menuai hasil terbaik. Itulah hidup. Selalu ada hitam putih.

"Maaf, Kadek," Wahyuni menurunkan alis, menunjukkan rasa iba. Langit lembayung meredup di cakrawala. "Aku tidak bisa mengajarimu sampai bisa."

"Bukan salahmu," Haricatra membalas. Diendusnya aroma awan. Ada gejala hujan akan turun. "Bagaimana mungkin membuat anak bodoh jadi pintar dalam waktu satu hari? Besok sudah hari pertama evaluasi kecerdasan dasar. Percuma juga kamu mengajariku. Aku tidak akan lolos ke MIPA."

Haricatra (Trilogi Pertama, Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang