Luka Lama

769 84 2
                                    

Ketiga orang itu berlari tanpa kaki. Yang menggenggam tombak pastilah si pemimpin, dan dua lagi mengekor. Badan mereka mengapung di atas tanah, meliuk lincah di sela-sela gerombolan pinus, liar menembus kabut. Tubuh-tubuh jangkung itu,—entah manusia atau mantan manusia—terbalut kain tebal terjuntai, sehitam warna langit malam tanpa bintang. Hanya topeng-topeng logam mereka yang berkilau bagai rembulan merah, membedakan yang mana kepala dan yang mana badan.

Di balik topeng-topeng perunggu itu ada hidung yang sedang mengendus. Buruan mereka tak jauh di depan. Jejaknya belum buyar di udara. Ketiga sosok gelap itu makin gesit, berpencar dari formasi, mengepung dari tiga arah.

"Berhenti, bajang binal!"

Gertakan itu menggema, lalu membeku di dalam kabut. Jarak pandang menipis. Pohon-pohon bergidik. Berderik. Mengantuk.

Haricatra mendengar teriakan itu nyaris di segala penjuru, kadang berbisik dari samping, melolong dari atas dahan, atau memekik dari balik rerimbunan. Anak itu tak memelan. Di dalam hutan, lurus berarti memutar. Memutar berarti tersesat. Tersesat berarti tinggal menebak bagaimana cara terburuk untuk mati.

Tentang bagaimana caranya dia bisa sampai ke hutan pinus itu, tak tergambar secuil pun di kepalanya. Jangankan menemukan ujung hutan gelap itu, dia bahkan tak tahu ada di mana. Barusan dia terbangun tergesa-gesa, dan si pemimpin makhluk tinggi-hitam itu sudah ada di hadapannya, nyaris menusuknya dengan ujung tombak kuno yang barangkali sudah turun-temurun tak minum darah.

"Jangan coba-coba kabur!" sosok bertopeng itu menyeruak dari tebalnya kabut. Tangannya terjulur, merenggut leher Haricatra, menghempasnya ke tanah layaknya macan membanting rusa. Sosok itu tak bisa masuk kriteria makhluk apa pun kecuali manusia yang sudah lama mati. Tidak ada manusia yang bisa hidup dengan tangan-tangan yang cuma tinggal kerangka.

Haricatra tersedak. Napasnya buntu.

Dua sosok lagi mendekat, langsung mengepung. Topeng perunggu mereka berpendar, memantulkan cahaya bulan yang pekat di puncak hutan.

"Tatasakên! Apa rinungu?!"

"Adya tuwekana, Kakang!"

Jengat sekali. Ketiganya laki-laki. Suara yang parau dan kasar, seperti mesin disel yang olinya sudah kadaluwarsa.

Si pemimpin makhluk itu memberi kode. Sosok yang mencekik Haricatra melepaskan jeratan jemarinya yang dingin dan kasar. Jemari yang tinggal tulang-tulang itu terangkat, lalu bersembunyi lagi di dalam jubah gelapnya yang tergerai panjang.

"Kembalikan pusaka yang kamu curi!" desisnya.

"Saya tidak mencuri!" Haricatra menyeret tubuhnya ke belakang. Tak akan kuat dia melihat jenis wajah yang akan tampak jika sampai sosok itu membuka topeng.

"Dia berbohong!" satu sosok hitam maju, menghunus belati perunggu entah dari mana.

"Anak sekecil ini sudah pandai berbohong!" geram yang satunya lagi.

"Bawa saja dia ke Bedahulu!"

"Tidak usah! Tikam saja dia di sini!"

"Pencuri pusaka kerajaan tidak bisa diampuni!"

Haricatra gemetaran. Debat itu saling sahut. Mereka sedang memperdebatkan tentang bagaimana cara membunuh seorang bocah. Tak jelas siapa yang sedang bicara di antara dua sosok itu. Pemimpin mereka tetap bungkam. Menimbang.

Tanpa basa-basi, tangan sosok hitam itu menyentuh dada Haricatra. Dia mendesis.

"Anak ini sudah mati," tatasnya.

Kedua rekannya memutar kepala. Mereka saling tatap. "Mustahil, Kakang!" ketus salah satunya.

Haricatra menahan napas. Dia sudah mati, katanya. Tak akan mungkin mereka membunuh orang yang sudah mati.

Haricatra (Trilogi Pertama, Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang