Cita-Cita

712 83 2
                                    

Sesuatu terseret amat pelan di sebelah kakinya. Haricatra mengamati sekilas,­—seekor siput mungil yang malang. Moluska bercangkang itu pasti terjatuh dari pohon karena kekenyangan dan nyaris tergilas sepatu kets. Ada pohon soka yang lembut di samping, dan Haricatra yakin bahwa siput itu berasal dari sana.

"Perlu waktu seharian untuk kembali ke pohon," begitu Haricatra bergumam. Gigi-giginya terbit. Dipungutnya hewan bercangkang itu. Siput berlendir itu kaget, mengkerut masuk seketika ke dalam cangkang.

Anak itu begitu menyukai hewan-hewan, dan tampaknya hewan-hewan kecil juga menyukainya. Siput itu mengintip malu-malu dari cangkangnya yang kuning, lalu menggeliat-geliat girang di telapak tangan bocah itu.

Haricatra tertawa. "Dasar siput kecil pemalu."

Ada semacam hubungan yang aneh antara dia dan binatang. Sewaktu dia bayi, seekor burung nuri hijau selalu melompat-lompat di ranjang untuk membangunkannya. Ketika Haricatra mulai diberi makanan padat, dia selalu muntah ketika diberi produk hewani. Ibunya baru benar-benar berhenti memberinya makanan hewani ketika dia mulai bisa bicara. Kata pertama yang diucapkannya adalah aku tidak mau makan teman-temanku. Sebuah kalimat komplet yang sempurna dari bibir anak dua tahun. Walaupun bocah itu tak bisa mengikat tali sepatunya sendiri sampai kelas dua, ibunya percaya bahwa Haricatra punya sesuatu yang istimewa.

Sewaktu kelas tiga SD, Haricatra menyuruh kawannya agar berhenti melempari kucing dengan batu. Dia tak digubris. Anak bandel itu baru benar-benar kapok ketika Haricatra memanggil semua kucing kampung masuk ke dalam kelas dan mengeong-ngeong dengan suara amat mengerikan. Sepanjang yang bisa diingatnya, dia telah membuat kawannya itu trauma pada kucing bahkan hingga kini.

Siput lamban itu merangkak dari telapak tangannya ke salah satu daun kembang sepatu. Setelah hewan tak bertulang itu benar-benar aman, Haricatra manggut-mangut.

"Ada rumah sakit jiwa khusus di belakang stadion buat anak yang pacaran dengan siput," seseorang menyambanginya dari belakang. Setelah itu, ada derai tawa yang tidak mengenakkan.

"Sakit jiwamu benar-benar parah," tidak salah lagi, itu suara Radit. Haricatra paling mengenali suaranya. Suara Radit mulai berubah dari nyaring ke berat dicekal dilema puber,—membuatnya mirip robot Transformer yang baterainya keropos.

Nugraha cengar-cengir seperti monyet. Kedua temannya,—Radit si sekretaris dan Rangga si bendahara memasang barikade mengelilingi Haricatra. Jika sudah begini, mereka pasti ada maunya. Gaya bercanda Geng Panda tidak cukup hanya dengan mengejek pakai mulut. Mereka tidak akan pernah puas sebelum korban mereka hari itu porak-poranda, minimal dengan memuntahkan semua isi tas dan merampok sebatang-dua batang pulpen. Jika mood mereka sedang buruk, mereka biasanya membantai dan melempar sepatu korban ke seberang tembok.

"Bagaimana rasanya mencium siput?" Nugraha menimpali. Dia memonyongkan bibirnya, membuat lelucon yang cuma lucu untuk anggota gengnya saja. "Siput tidak punya otak. Kalian bisa jadi pasangan yang sama-sama punya kepala kosong."

Haricatra membenamkan alisnya. Bungkam.

"Hei," Rangga maju selangkah. "Tadi kami bertemu spesies langka yang mungkin kamu kenal. Aku menemukannya di pohon belakang sekolah. Aku yakin, kamu pasti suka."

"Dia makhluk yang sangat eksotis," imbuh Radit. Dia manggut-manggut sambil tersenyum licik separuh kepada Rangga.

Haricatra membaca wajah mereka satu per satu. Rangga pasti mengganggu binatang lagi, dan Nugraha bakal menyiksa tanpa ampun. Kedua perbuatan itu sama-sama jahat. Tiga anak itu adalah malaikat maut bagi semua spesies binatang.

Tangan Rangga tersembunyi di balik punggungnya. Sesuatu sedang terjepit di jemarinya yang usil.

"Tadi makhluk ini berkata bahwa dia sangat ingin bertemu kamu," Rangga semakin mendekat. Dia mulai menyeringai penuh kejahilan. "Kurasa dia akan menjadi pasangan yang lengket selamanya denganmu."

Haricatra (Trilogi Pertama, Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang