Kehilangan

560 69 2
                                    

Dhira mendadak pulang dengan mata membara. Sasaran kalapnya hanya wajah bocah itu saja. Siang tadi Bu Suparni sang guru konseling meneleponnya dan membeberkan kasus berdarah yang dilakukan Haricatra. Darah Dhira melonjak-lonjak di titik didih. Haricatra langsung diseretnya, dibabatnya dengan tamparan bertubi-tubi. Rumah itu menggigil lagi dalam tragedi.

Korban akhirnya jatuh. Haricatra kalah telak. Gempuran ayahnya begitu sengit. Dhira membantainya dengan bahasa paling kasar dan tamparan paling keji. Anak itu rebah di kasur, menghantam-hantam bantal sambil berjuang meredam aliran banjir di matanya. Malu dia menangis. Rani menjenguknya beberapa jam kemudian.

"Saya marah sekali," Haricatra menggumam tersendat-sendat. Tampangnya kusam. "Saya tidak pernah semarah itu, Bu. Saya takut."

Rani hanya pasang kuping. Penjelasan anaknya belum komplit. Dia menunggu.

"Saya bisa dengar jantungnya berdetak."

"Kamu bisa dengar detak jantung kawanmu?" Rani ingin memperjelas.

Si anak mengangguk sembari terpejam.

"Sejelas apa?"

"Sangat jelas. Saya juga dengar aliran darahnya."

Perempuan itu hanya bisa gigit bibir.

"Kemudian," tatapan Haricatra hampa, menembus jendela rumah. "Saya bisa masuk dalam dadanya. Saya merobeknya. Saya—"

Kemudian anak itu membisu. Tangannya mengepal.

"Ceritalah lagi," desak Rani, meski dadanya amat gentar.

Haricatra membungkam mulutnya. Kepala anak itu terbenam di antara lipatan lengannya. Ada suara isakan.

Rani menepuk pundak anaknya. "Ibu sudah bilang padamu," tukasnya lembut. "Kemarahan tidak menyelesaikan apa pun."

"Tapi dia membunuh burung itu, Bu!" Haricatra jengat. "Burung itu minta tolong, tapi saya tidak bisa menolongnya. Saya menyesal."

Rani mengangkat dagu anaknya, membujuknya agar mereka saling tatap. "Kadang-kadang sesuatu terjadi di luar kuasa kita," ujarnya. "Kamu tidak bisa mengatur jalannya alam. Alam memberimu kelebihan, alam juga memberimu kekurangan. Semua diciptakan seimbang antara hidup dan mati, derita dan gembira, pertemuan dan perpisahan. Kamu boleh membela, tetapi jika jatuh lebih banyak korban karena pembelaanmu, apa bedanya? Apa nilainya?"

Lamunannya buyar. Haricatra membuka mata. Lama juga dia melamun.

Bunga-bunga flamboyan koyak di dahan, terpencar di udara, lalu terurai di tepi jalan. Tak ada siapa pun di sepanjang trotoar. Si gadis kawan karibnya tak ada di sana. Tak tercium aroma pandan bercampur kertas dari bungkus-bungkus nasinya yang gemuk dan hangat.

Itu sudah hari ketiga. Wahyuni tidak ada di tepi trotoar. Sejak hari ketika Wahyuni menamparnya di sekolah, gadis itu tidak tampak berjualan. Setiap hari Haricatra datang dan menanggung kekecewaan yang sama. Tak ada Wahyuni. Tak ada nasi kuning.

Anak itu duduk lesu di tepi trotoar, menghayati nada kehilangan. Matanya meleleh. Malu rasanya kalau orang-orang melihat bocah empat belas tahun tersedu-sedu seorang diri di tepi trotoar. Lengannya bergegas menyapu lelehan air mata yang nyaris jatuh. Sial. Air mata itu tidak bisa berhenti meluap-luap tak terkendali. Terpaksa dia membenamkan wajahnya, risih dilihat orang-orang.

Sial. Lelehan air mata itu malah berubah jadi isakan ringan. Hatinya tambah panik. Semua hal aneh tiba-tiba terwujud di dalam mata. Wahyuni adalah orang pertama yang memanggilnya dengan nama yang akrab. Ingatan itu begitu membekas, begitu jelas. Masih tergambar di otaknya bagaimana bibir gadis manis itu mengeja HA-RI-CA-TRA dengan penuh penghayatan. Sembilan tahun sudah dia mengenal sekolah, dan tak ada yang memanggilnya dengan namanya yang sebenarnya. Kala SD, dia dipanggil kucing garong karena dia bisa memanggil kucing-kucing kapan pun dia merasa kesal pada seseorang. Saat SMP dia dipanggil tupai, dan kini dia dijuluki jelmaan iblis dan tukang sihir.

Haricatra (Trilogi Pertama, Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang