Nasi Kuning

627 79 4
                                    

Muka Wahyuni adalah segurat rupa yang tak biasa buat gadis SMP di Singaraja. Yang tampak normal bagi anak-anak gadis masa kini adalah wajah yang bersih dari minyak, bahkan debu atau peluh. Namun Wahyuni adalah pengecualian. Debu dan peluh mesti dia rasakan jika hidupnya ingin dilanjutkan.

"Kamu sepertinya lelah," Haricatra menyatakan sebuah hipotesis sederhana setelah menelan suapan terakhir nasi kuning buatan Wahyuni. "Kenapa kamu masih jualan juga?"

"Ini pekerjaanku," ungkap Wahyuni, dengan separuh mulut terisi nasi. Sepercik nada letih terselip di akhir kalimatnya yang bergelayut. "Kalau tidak kerja, tidak dapat uang."

Wahyuni selesai makan. Bungkusan nasinya bersih sudah. Diremasnya kertas minyak cokelat itu dan dilemparnya ke tempat sampah. Haricatra menyusul cepat. Mulutnya masih penuh nasi. Lemparan Wahyuni tepat sasaran. Buntalan kertas minyak itu masuk tepat di lubang tong sampah. Haricatra melakukan hal yang sama. Lemparannya meleset jauh. Menyentuh mulut tong sampah pun tidak.

"Lemparanmu payah," komentar Wahyuni.

"Kamu harus ajari aku melempar pakai sepatu."

"Tunggu sampai sepatumu bolong dulu, baru kuajari," Wahyuni menuangkan air, mengucek tangannya. Satu gelas lagi diberikannya pada Haricatra. "Aku tidak mau tanggung jawab kalau sepatu ketsmu yang bagus itu hanyut di sungai Singaraja."

Sederet sepeda motor lewat adu cepat. Kala malam, ruas jalan Pasar Anyar terang oleh lampu pedagang-pedagang kaki lima. Lampu-lampu jalan yang kuning bertengger jauh di atas, kadang tertutupi dahan pohon yang kian hari kian rimbun. Usia lampunya sudah lumayan tua, dan kapasitas cahayanya tak bisa lagi diandalkan. Singaraja bukan kota sekelas Denpasar yang tak pernah tidur. Orang-orang masih tabah melihat jalan tanpa lampu penerang.

"Kita lanjut belajar matematika sekarang?" Haricatra mengeluarkan buku dari dalam tas yang disimpangkannya di dada.

Wahyuni mengangguk. "Iya."

"Pelan-pelan kalau mau ajari aku."

"Aku ngerti," Wahyuni meraba pulpen di dalam keranjangnya. "Paling-paling kusodok kepalamu sedikit. Mengajari kamu matematika sama dengan mengajari ikan memanjat pohon."

"Terserah yang penting aku bisa paham."

"Tapi kali ini ada syaratnya."

Haricatra memicing. "Syarat apa?"

Wahyuni menarik napas. Dia gigit bibir.

"Apa?"

"Anu," Wahyuni menunduk, melirik kalau-kalau Haricatra jengat. "Kamu mau jadi abangku?"

Mata Haricatra melebar. "Kamu bilang apa?"

"Maaf," cepat-cepat Wahyuni memalingkan kepala. "Aku cuma bercanda."

Haricatra tersenyum. Permintaan yang aneh.

"Sejak kejadian tupai itu, aku menganggapmu abang," Wahyuni terus terang. Lalu dia terdiam, menunggu balasan.

"Kamu tidak punya saudara?"

"Tidak," Wahyuni menggeleng. "Aku anak tunggal. Dari dulu ingin sekali aku punya abang. Jadi anak kedua mungkin menyenangkan buatmu, dan kamu laki-laki. Aku? Aku anak pertama, tak punya saudara kandung, dan sialnya aku perem­puan. Semua tanggung jawab ada padaku."

Nyala lampu yang tergantung di batang flamboyan bergetar. Kisut wajah Wahyuni berpen­dar kusam. Haricatra bisa melihat dua cekungan di bawah mata gadis itu, tempat semua gumpalan lelah bersarang. Namun ada nyala lain lagi yang redup di mata itu. Ada setitik api yang hangat di sana. Haricatra masuk terlalu jauh. Kedua mata mereka beradu. Ada aliran rasa yang aneh. Titik api di mata Wahyuni begitu cemerlang. Hangatnya masuk ke dalam dada. Tatapan itu bukan tatapan biasa. Mata mereka benar-benar terkunci. Energi misterius yang tak terjelaskan sedang mencekal mata mereka berdua, menjalin sebuah simpul tak kasat mata yang erat.

Haricatra (Trilogi Pertama, Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang