Batur (II)

521 72 7
                                    

Yang membuat matanya terpaksa terbuka adalah lelehan dingin yang meresap hingga ke dalam mobil. Haricatra menyadari keningnya sedang beradu dengan kaca jendela, membentuk motif lingkaran berembun di kaca ketika dia menggeser kepala. Di luar gelap gulita. Senyap melata di sekeliling. Lampu dalam mobil menyala kuning redup, cukuplah untuk membuat seluruh interiornya tampak. Selain suara derik serangga yang sayup-sayup, tak ada lagi suara lain yang terdengar. Sesekali beberapa kendaraan roda empat lewat, menggerung halus, lalu sirna di tikungan.

"Sudah sampai," sopir menyambut.

Haricatra meregangkan kakinya. Kepala anak itu agak pening. Yang sangat ingin ditanyakannya adalah seberapa lama dia telah terlelap sampai-sampai tidak menyadari kalau hari sudah begitu gelap. Tenaganya habis sudah. Petualangan yang gila.

"Ini di mana, Bli?" Haricatra melenguh gundah. Botol minuman mineral masih tergolek di pangkuannya, tersisa separuh. Hal terakhir yang diingatnya adalah mobil itu lewat di jalan besar berlabel Sunset Road yang ramai, lalu matanya padam. Untung saja sopir itu bertanggung jawab. Seandainya dia ditinggal di rerumputan tepi jalan, mungkin dia tak akan sadar.

"Panelokan, 'kan?" sopir itu menyahut. Tampangnya masih belia di bawah cahaya lampu interior mobil. Topinya terpasang lekat di kepala. Ditaksir-taksir, umurnya paling-paling masih dua puluhan awal.

"Iya," tatapan mata Haricatra menembus kaca depan, menerobos kegelapan. Tak ada petunjuk apa pun. Sepi melenggang. Ayahnya tak kelihatan.

"Nama kamu siapa?" sopir muda itu bertanya, semakin penasaran akan raut Haricatra yang makin tak jelas.

"Haricatra," demikian Haricatra menyahut sambil tak lepas menatap lurus ke dalam kegelapan di depan. "Kalau Bli?"

"Rama Gonzales," pemuda itu membuka topi, melemparnya ke jok belakang. Rambutnya ternyata panjang, nyaris menutupi alis. "Panggil saja Gung Rama. Aku masih kuliah S2. Nyopir buat bantu-bantu bayar kos."

Haricatra tampak tak tanggap. Tangannya sibuk mengusap-usap embun di kaca samping. Pantulan wajahnya yang pucat resah berpendar di kaca.

"Ada yang akan menjemputmu di sini?" Gung Rama memastikan. Jarum jam tangannya sudah membuatnya resah dari tadi. Tempat itu bukan main jauhnya dari Kuta. Pantatnya sudah nyaris berasap. Untung saja suhu di sana dingin. "Soalnya aku harus segera balik. Besok aku persentasi di kampus."

"Bapak saya," Haricatra menjawab. Masih tak ada tanda-tanda ayahnya tiba. "Cuman sepertinya belum sampai."

"Apa maksudmu?" Gung Rama tambah risau. Dia sudah tiba hampir sejam yang lalu, menunggui Haricatra yang mendengkur terbangun. Jika otaknya tidak sedang sejajar kepala, anak itu sudah ditinggalnya sendirian di Bangli atau di bypass Bali selatan. Tapi namanya juga pelayanan. Pelanggan sekecil apa pun harus dituruti. Jika tidak, rating-nya di impresi penumpang akan rendah. Tak ada yang bakal mau memesan jasanya lagi.

"Saya disuruh tunggu di sini," Haricatra meraba-raba tuas pintu mobil, berusaha keluar. "Ini benar di gerbang Geopark?"

"Iya," jawab Gung Rama. "Yang namanya Geopark ya cuma tempat ini."

Tempat itu begitu gelap dan asing. Yang diingatnya hanya nama Panelokan, dan dia tak menyangka tempat itu begitu gelap di malam hari. Nyaris tak ada penerangan jalan.

Gung Rama menciutkan dahi. "Kita hampir seratus kilometer dari tempat kamu tadi masuk mobil ini," ungkapnya. Dia meminta penjelasan. Harinya sudah disita rute yang begitu panjang, dan dia perlu bayaran. Keliling Kuta saja bisa habis seratus ribu, namun ini bukan lagi Kuta. Ini di sisi lain pulau. Tidak ada taksi online yang rutenya sepanjang itu. Sebuah rekor yang lumayan. Bayarannya harus lumayan juga. Paling tidak lima ratus ribu atau lebih,—ditambah biaya menunggui bocah ingusan tidur.

Haricatra (Trilogi Pertama, Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang