Sepuluh Tambah Sepuluh

1.1K 106 22
                                    

Seperti biasa, anak itu berlari cepat sampai ke luar gerbang, menyalip lusinan siswa yang pulang berbarengan. Hari itu dia malas pakai sepeda. Terakhir dia ke sekolah dengan sepeda, tangan usil Nugraha dan gengnya tak hanya membuat bannya kempes, tapi lepas.

Januari tahun itu tidak seperti biasanya. Singaraja didera panas sejak malam tahun baru. Menurut TV dan internet, ada gelombang panas El-Nino dari Australia. Jika matahari sudah masuk khatulistiwa di bulan Maret, cuaca bakal tambah panas. Orang-orang bakal tambah emosional, dan akan ada keluaran merk es krim baru yang laris.

"Lihat-lihat dong kalau jalan! Tupai!" Laras namanya, anak perempuan yang pintarnya kelewatan. Nilai matematikanya selalu paling tinggi, berbalapan dengan Nindy Widiastuti sang juara pertama. Hanya nilai matematika dua anak itu saja yang sangup terbang sampai batas atmosfer Bumi.

Hanya saja, orangnya judes. Kasar pula, apalagi jika bahunya kena tabrak anak laki-laki yang tak pernah pakai deodoran. Amit-amit.

"Maaf," anak yang dipanggil tupai menyahut. Dia meliuk cepat di antara kerumunan seperti dikejar iblis, masuk gang samping sekolah yang sepi, suram, penuh debu dan tak beraspal.

Dia biasa pulang lewat sana, bertegur sapa dengan kesunyian di lahan kosong samping sekolah. Ujung gang ada di kompleks perumahan kota dengan bau gas metana dari sampah yang membusuk di dalam got. Setelah melewati tiga blok, perumahan itu berakhir di sebuah pasar tingkat dua. Pasar Anyar, kata orang,—padahal nama resminya di papan nama adalah Pasar Umum Singaraja. Biasanya dia menerobos gang pasar, lalu menyeberang di taman kota, menghirup oksigen di bawah pohon peneduh. Setengah kilometer ke barat, dia biasa masuk ke kompleks kavling lewat jalur belakang dengan menyeberang sungai dangkal yang cokelat. Setelah naik di pematang sawah, dia hampir selalu sampai rumah dengan kaki berlumpur. Perjalanannya pulang sekolah selalu jadi petualangan seru, dan anak itu melakukannya seorang diri.

Di pertengahan gang, ditariknya napas. Dia telah siap. Dadanya berdegup ricuh. Tangannya merogoh saku, menarik segumpal kertas semrawut, lalu dibukanya perlahan seperti petugas forensik penjinak bom.

Ketika barusan kertas itu dibagikan di jam pelajaran terakhir, anak itu langsung meremasnya tanpa menoleh isinya sedetik pun. Dia sudah pesimis duluan. Saat ulangan minggu lalu, hanya dua butir soal yang berhasil dijawabnya dengan susah payah. Sisanya, dia menyalin soalnya begitu saja.

Kertas itu dibukanya pelan-pelan. Bom meledak dahsyat: dua puluh.

Nilai paling rendah seangkatan. Andai saja kertas itu tidak menuntut tanda tangan orang tua, dia pasti sudah mengakhiri riwayat lembaran ulangan laknat itu di got, dikutuk gas metana, dan terurai. Mohini, kawan sekelasnya, mendapat nilai tujuh puluh dan menitikkan air mata. Komang Nirwana, anak yang duduk di depannya, dapat enam puluh tujuh. Nindy, si gadis terpandai, hanya mendapat sembilan puluh lima. Ketika gadis itu ditanya, dia mengimbuhkan kata "cuma" dalam jawabannya. Aku cuma dapat 95, itu katanya. Cuma? Lalu berapa kata 'cuma' yang harus dikatakan dengan nilai dua puluh?

"Sepuluh tambah sepuluh sama dengan dua puluh, tupai cokelat tak berbulu!"

Sial. Itu Nugraha sang iblis. Bocah sporty berlengan kencang itu tiba-tiba menghadang dan menyeringai lebar. Di kepalanya bertengger topi baseball merah, suvenir atlet kabupaten tahun lalu. Tidak ada makhluk yang boleh (dan berani) mencabut topi itu dari kepalanya. Di sisi kanannya Rangga si manusia korek api tersenyum simpul. Mulutnya sibuk mengunyah keripik tak bernama. Lalu ada Radit si muka jerawatan di sisi kiri, menatap remeh.

"Tidak usah disembunyikan," Radit menimpali. "Google pun tahu Haricatra dapat nilai berapa."

"Tupai bodoh yang malang," Rangga si pendek terkial-kial. "Lihat! Dia bahkan tidak bisa membaca angka dua puluh."

Haricatra (Trilogi Pertama, Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang