Hutan Pinus Tua

520 71 2
                                    

Hari itu perjanjian antarspesies dibuat. Dodo si tupai kecil ingin membayar utang nyawa. Janjinya bukan sembarang janji. Sebagai balasan pengorbanan Haricatra demi menyelamatkannya dari tangan maut Geng Panda, Dodo menyanggupi sesuatu yang hampir mustahil dilakukan siapa pun. Mamalia berbulu itu bersumpah mengantar Haricatra ke Gunung Sanghyang.

Nagapuspa rupanya telah jadi legenda tak hanya bagi manusia, namun juga bagi telinga para jin, hantu, makhluk setengah dewa, hingga bangsa tupai rendahan. Leluhur para tupai kelapa dahulu jadi penghuni wilayah Gunung Sanghyang, jadi saksi peperangan kaum manusia berebut Nagapuspa di Tamblingan. Danau itu konon pernah sekali waktu jadi merah oleh darah.

Kedua spesies berbeda itu bertemu di semak samping sekolah. Segera setelah perjanjian disepakati, Dodo memanjat pundak kiri Haricatra, jadi penunjuk arah. Orang-orang takjub di sepanjang jalan. Seorang bocah SMP dengan seekor tupai jinak yang menari-nari di pundak kirinya kontan jadi pemandangan aneh di kota. Pengendara dari segala jurusan memelankan laju, membidikkan ponsel. Anak-anak terpikat pada ekor Dodo yang bergerak-gerak lincah seperti umbul-umbul cokelat berbulu. Di lampu merah, gadis-gadis kampus berteriak gemas. Esok video tupai dan bocah itu pasti dibanjiri ribuan tanda jempol dan jantung.

"Kamu jual berapa?" tadi seorang pria berka­camata hitam menurunkan kaca mobil, mena­warkan lelang harga buat tupai mengge­maskan itu. "Sepuluh juta? Dua puluh? Om beli."

"Tupai ini tidak dijual," Haricatra menjawab dingin. "Dia teman saya."

Batas selatan kota Singaraja langsung beradu dengan kaki bukit. Hutan Babakan yang lebat membentang di lereng bukit itu, menyaring air sepanjang tahun. Di balik bukit hijau itu bersemayam tiga danau,—Beratan, Buyan dan Tamblingan, disang­kari barisan pegunungan dan hutan yang uzur. Gunung Catur di sisi timur jadi yang paling muda, lalu ada puncak-puncak gagah seperti Gunung Pohen, Tapak dan Adeng di hulu Kebun Raya Bali. Di tepi selatan Danau Tamblingan menjulang Gunung Lesung yang sudah berabad-abad tenang bersemedi. Hutannya lebat bagai janggut petapa tua yang tak tersentuh cela. Agak menyisih di belakangnya, di arah barat daya, berdiri Gunung Batukaru, si sulung di antara semua gunung di kaldera tua itu. Ia landai ke sisi balik selatan, menyusui seluruh Tabanan dan Jembrana dengan air murni sepanjang tahun. Di celah terpencil antara kaki Batukaru dan Lesung itulah Gunung Sanghyang berstana. Tingginya nyaris setinggi Batukaru. Puncaknya kembar, laksana gadis belia yang penuh rahasia.

Bukan adat bangsa tupai untuk melanggar sumpah. Dodo berkata­—yang terdengar hanya sebagai suara cicit bagi telinga biasa—jalan ke Gunung Sanghyang dekat saja. Tak perlu melintasi bukit dan menyeberang Tamblingan. Mereka hanya perlu melewati apa yang dimaksud Dodo sebagai sebuah 'pintu gerbang' di hutan Babakan.

Dan di sanalah mereka kini,—masuk jauh di jantung belantara Babakan. Semakin jauh dari kota. Semakin nekad menantang alam.

"Dodo, tunggu!"

Suara Haricatra terserap pepohonan. Dia mesti berhenti dan mengambil napas. Sudah satu jam dia mengejar hewan pengerat itu ke tengah hutan, dan beberapa kali nyaris kehilangan jejak.

Kembali Dodo melompat gesit, lenyap di balik sebatang pohon damar besar yang mengalangi jalan. Tubuh Haricatra hanya terbalut kaos biru biasa dan celana jeans rumahan. Yang lebih parah, kakinya cuma beralas sandal jepit. Jalan utama sudah jauh, tersembunyi di balik berlapis-lapis barisan pohon. Hutan makin gelap.

Dari Singaraja, Gunung Sanghyang jaraknya dua jam naik mobil ditambah tiga jam mendaki. Begitu menurut penuturan ayahnya yang sudah belasan kali mencapai puncak. Tidak mungkin ada jalan pintas buat mata biasa. Untuk mencapai gunung paling terpencil itu, orang harus menembus jalan provinsi di lereng bukit Singaraja sampai puncak, turun tajam, berbelok ke arah Danau Tamblingan, menelusuri tepiannya selama setengah jam, lalu berjalan kaki masuk ladang penduduk. Setelah bertemu jurang di tepi Desa Tamblingan, baru pendakian dimulai selama tiga jam. Sialan. Mengapa dia harus mempercayai hewan yang otaknya hanya sebesar kelereng?

Haricatra (Trilogi Pertama, Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang