Dadu Maut

552 69 1
                                    

Orang-orang menyebut tempat itu eks pelabuhan, dan nuansa tuanya masih terselip di deretan bangunan. Selama dua ratus tahun Singaraja jadi pusat jual-beli di bagian utara pulau, mengundang manusia-manusia dari berbagai negeri singgah, menitipkan napas dan kisah, lalu pergi lagi. Sejak republik berdiri, pelabuhan pindah ke selatan,—ke tempat yang kini dihujani dolar setiap hari dan penduduknya pergi ke supermarket kelas internasional hanya untuk membeli sayuran dan kerupuk.

Jadilah tepi pelabuhan tua yang tenang itu diimbuhi kata 'eks'. Kala senja, muda-mudi berseliweran di sana layaknya kelelawar yang baru membuka mata dan mendapat asupan energi dari matahari terbenam. Restoran-restoran terapung menyalakan lampu yang memantul di air pantai yang ungu tua. Riak ombak yang jinak pecah di beton penangkal abrasi. Jika gelombang meninggi, air dan pasir bisa melompat galak sepanjang hari hingga membasahi pelataran parkir, meninggalkan jejak pasir tipis yang tak pernah dibersihkan. Sepasang bale bengong bercokol tegap di ujung, beratap genteng tanah yang tak akan bergerak tertiup angin. Lantainya pualam krem kelas dua, tahan gerusan angin garam.

Komang Jaya memutar pergelangan tangannya, melirik jam. Setengah enam. Tiga puluh menit lagi alunan doa sore bakal mengalun serentak, dan sebelum itu pembicaraan harus sudah selesai. Berbicara serius saat pengeras suara menyala bersamaan di seluruh penjuru kota tentu bakal merusak konsentrasi. Tidak enak saja rasanya membicarakan sesuatu yang duniawi saat alunan doa berkumandang.

Dia sudah duduk diamuk angin di balai itu sejak dua jam lalu. Anyir garam telah mengisap semua lembab di bibirnya, menyisakan segores ekspresi sebal. Jika yang ditunggunya tak juga datang, akan diumpatnya habis setiap wajah.

Mobil SUV putih mengkilap itu dilihatnya baru berhenti di ujung parkir dengan lampu rem LED yang menyala merah. Ditunggunya sesaat. Dibiarkannya angin pantai yang anyir mengibas-ngibasi kaosnya. Lelaki itu menunggu dengan mangkal yang bergolak di dada. Orang-orang yang tengah berada di dalam mobil itu seharusnya sudah datang satu jam yang lalu. Janji ya janji, tapi sungguh menyebalkan jika tidak tepat waktu. Dasar orang-orang super kaya. Seenaknya saja bermain jam. Hampir saja Komang Jaya menggeber motornya dan ngambek pulang.

Pintu mobil terbuka. Komang Jaya memicingkan mata, memastikan jika orang-orang berjas dan berdasi hitam itu adalah mereka yang mencarinya. Dia bangkit, memasukkan kakinya ke badan sandal, lalu berjalan lurus menuruni tangga andesit hitam.

Dari jauh, Ken melambai ramah. Ekspresi mukanya terpenggal di balik kacamata hitam. Di sampingnya seorang lelaki lain berdiri mengamati. Komang Jaya tak kenal lelaki itu. Dia hanya mengenal Ken,—sejak pria itu dibuat repot oleh betapa kakunya watak Dhira masalah jual-beli tanah warisan. Jika separuh saja tanah terpencil itu jatuh atas nama Komang Jaya, pasti tanah itu sudah jadi milik Epsilon dengan harga ratusan juta rupiah per are. Dhira memang manusia sialan di matanya, dan juga di mata Epsilon. Muak dia berbagi hubungan darah.

Komang Jaya sampai di parkir. Ken menyambutnya dengan salaman yang erat. Kemarin larut malam Ken menelepon dan berkata bahwa atasannya ingin bicara segera. Janji dibuat. Komang Jaya hanya merasa sangkut-pautnya dengan Epsilon hanya sebatas janji pengambil-alihan tanah, dan itu sudah menjadi satu kegagalan misi. Tak disangka perusahaan raksasa itu masih mengingat namanya.

"Pak Soni ingin bicara empat mata," Ken menyilakan.

Pintu mobil dibuka. Komang Jaya melirik kedua pria itu satu per satu. Di dalam mobil? Yang benar saja. Ada ruang yang jauh lebih luas di luar. Mereka seharusnya bisa mengobrol di balai bengong, memesan beberapa porsi lumpiang berbumbu kanji lengket yang manis. Lagipula, ada kantor cabang Epsilon di Singaraja. Komang Jaya bisa bertandang ke sana jika diundang. Tapi petinggi perusahaan itu malah ingin bertemu di eks pelabuhan, saat senja, dan di dalam mobil. Sungguh tabiat yang aneh. Mungkin ini masalah prestise. Sandal jepitnya barangkali tidak pantas menginjak lantai kantor Epsilon dari pualam putih khas Agra.

Haricatra (Trilogi Pertama, Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang