Di Bawah Pohon Flamboyan

666 79 6
                                    

Keduanya sering belajar bersama di bawah pohon flamboyan. Di deretan jalan seberang Pasar Anyar, berbaris puluhan pohon flamboyan tua yang bunga merahnya meranggas tak pandang musim. Di tepi jalan yang lumayan lebar itu, pedagang kaki lima dari berbagai etnis menggelar lapak dari senja hingga larut malam. Asap panganan menjalar nikmat. Kala malam, ruas jalan itu dijejali aroma rempah yang diracik oleh berbagai manusia dari Nusa Tenggara hingga Papua, Jawa hingga Sabang.

"Aku turut menyesal, Kadek," Wahyuni berkomentar. "Naskah itu kamu buat sejak kelas tujuh di majalah sekolah. Tak bisa kubayangkan bagaimana kamu harus membuatnya lagi dari awal."

Saat itu nyaris senja. Haricatra datang dengan sepedanya dua jam lalu dengan kisah pilu tentang naskah. Hari itu mereka janji belajar bersama. Wahyuni selalu ada di bawah flamboyan hingga larut malam, menjajakan sekeranjang penuh bungkusan nasi kuning sambil sesekali membuka catatan sekolah dan menghapal. Sudah sejak kelas 4 SD dia melakukannya. Flamboyan di ruas jalan Pasar Anyar itu sudah jadi rumahnya yang kedua.

"Dan file-nya juga rusak," Haricatra melenguh, mengingat laptopnya yang terbelah dua dibanting si bapak.

Wahyuni mengangguk tanda paham. Dia meletakkan nasi bungkus di trotoar, di antara dirinya dan Haricatra. "Sudah. Sebaiknya kamu makan dulu," balasnya. "Nasi bungkus ini aku yang buat."

Haricatra enggan menerimanya. "Aku tak bawa uang," tolaknya halus.

"Apa semua harus ditukar dengan uang?"

"Sudah pasti."

"Kalau begitu, aku sekalian minta bayaran jasa sepatuku yang mengenai mulut Nugraha."

Haricatra terdiam sejenak. Sesaat berlalu, dia malah cengar-cengir sendiri.

"Kenapa?" Wahyuni menuntut.

"Aku ingat wajah Nugraha ketika dia tahu itu sepatu perempuan."

Giliran Wahyuni tertawa.

"Bagaimana kamu bisa berani seperti itu?"

"Meme yang mengajariku."

"Jadi ibumu perempuan galak?"

"Tidak," Wahyuni menggeleng cepat. "Ibuku hanya perempuan tegar."

Seekor anjing tiba-tiba menyalak. Ada satu ekor anjing lagi yang bersiap berkelahi di trotoar. Mungkin sengketa teritorial. Keduanya unjuk gigi, menggeram-geram galak. Ricuh.

"Kalau aku belajar ke rumahmu, apa ibumu akan marah?"

"Buat apa marah?"

"Karena aku anak laki-laki."

Geraman dua anjing tak bertuan itu semakin riuh. Tak bisa dikontrol.

Wahyuni gerimutan. Telinganya terganggu. Tangkas, diambilnya satu gelas air mineral, lalu dilemparnya kuat-kuat. Gelas plastik itu melesat tepat sasaran, pecah di kepala anjing belang, mengguyurnya dengan air dingin.

Turnamen unjuk taring itu bubar seketika.

"Maaf," sela Wahyuni. "Gangguan kecil."

Kekaguman di mata Haricatra tak bisa ditutupi.

"Waktu aku melempari wajah Nugraha, sebenarnya aku hanya latihan melempari anjing jalanan itu."

"Kamu tidak tahu seberapa kejam Nugraha dan gengnya," Haricatra mendesis. "Sebaiknya kamu tidak buat masalah dengan mereka jika kamu ingin daganganmu selamat."

"Jadi sekarang aku harus menerima nasihat dari anak yang menjerit-jerit karena kemasukan laba-laba kecil?"

Haricatra jengat. "Itu laba-laba besar, tahu!"

Haricatra (Trilogi Pertama, Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang