Lotus di Atas Batu

472 60 0
                                    

"Ibu!" Haricatra melolong, menerjang cepat ke arah ibunya.

Buruannya kena. Soni menutup ujung senapannya, lalu memasuk­kannya lagi ke dalam kotak dengan lihai. Kemudian dia merogoh saku kanan, mengambil satu lagi botol yang tadi sempat dipegangnya di tangan kanan. Botol bening mungil itu dijatuhkannya, bergulir di tumpukan dedaunan. Dengan cepat Soni menginjaknya. Suara gemerutuk terdengar. Botol itu pecah jadi serpihan. Seluruh cairannya meresap ke dalam tanah. Tak bisa lagi diambil.

"Di dunia ini hanya ada dua penawar SALCON," pungkas Soni. "Tetrapofen C3 dan Nagapuspa. Aku baru saja menginjak salah satunya."

Haricatra menggeram. Soni malah girang melihat muka itu. Senyumnya mekar. Puas luar biasa.

Darah muncrat tiba-tiba di mulut Rani. Jarum mikro penuh bibit SALCON telah terbenam ke dalam lengannya. Tak mungkin Haricatra meno­long­nya dengan cara mentransfer penyakit itu ke tubuhnya. Tak akan berhasil. SALCON terlalu kuat. Dia bisa mati dan ibunya pun tak bisa selamat.

"Pilihan tinggal satu, pahlawan kecil," Soni mulai memberi umpan lagi. Umpan yang paling mempan.

Haricatra menggeram. Anak itu berdiri tegap, mengepalkan kedua tinjunya. SALCON yang baru saja menginfeksi ibunya pasti adalah kumpulan mutagen kanker yang seyogyanya bisa membunuh ratusan orang sekaligus.

"Jangan, Kadek!" pekik Rani. Dicengkeramnya lengan anaknya sekuat mungkin. "Jangan tunjukkan... Nagapuspa!"

"Saya harus menyelamatkan Ibu!" tepis Haricatra, meski kesadarnnya betul-betul goyah. Dua pilihan itu amat sulit.

Kembali Rani menarik lengan anaknya.

"Meskipun Ibu harus mati, Kadek," Rani mendesis. Bahasanya tak main-main. Anak itu ditatapnya lekat-lekat. "Satu permintaan Ibu... Jangan pernah lakukan itu!"

Mata Haricatra sembab. Dia harus memutuskannya sendiri. Tak mungkin dibiarkannya ibunya mati. Tak akan sanggup anak itu menanggung perpisahan. Sial sekali. Epsilon tak hanya pintar meramu obat, namun juga meramu rasa. Kali itu ramuannya sungguh-sungguh kecut nan pahit.

Tak mampu berpikir lagi, Haricatra berlari ke dalam hutan, mencari-cari pohon pinus tua. Waktu makin sempit. Rani memanggil-manggil anak itu dengan sisa tenaganya yang mulai lenyap. Mutasi sel tengah menggerogoti tiap inci tubuhnya. Reaksinya sangat cepat, laksana bisa ular laut selatan.

Soni manggut-manggut nyaman. Rencananya berjalan mulus. Kepolosan anak-anak memang menarik untuk dipermainkan. Sebuah kejahatan besar jika seseorang meracuni anak-anak, terlebih jika yang diracuninya adalah batin. Namun Soni tentunya berpikir dia tidak sedang meracuni anak-anak. Dia sedang mencari obat untuk semua racun sampai-sampai lupa bahwa setiap sendi badannya telah terinfeksi kanker ganas bernama ambisi.

Pinus itu berdiri kokoh di balik rimbunnya pepohonan, dengan batang tua yang amat besar dan tinggi, diselimuti gelapnya malam, berdiri tenang menunggui zaman.

Kemudian dibukanya tangannya, dan ditempelkannya di batang pohon. Mata anak itu terpejam sempurna, menghubungkan segenap pikirannya pada masa-masa yang telah lampau, memanggil apa yang orang-orang di masa lalu sebut sebagai arwah gunung yang purba.

Selama beberapa saat, mereka disandera hening yang mencekam. Soni dan serdadunya menunggu tanpa bergerak. Rani

Lalu pohon pinus itu bereaksi. Lewat tangannya, anak itu merasakan energi yang murni dan sejuk mengalir di batang pohon, bagaikan sungai yang terjun bebas dengan kecepatan tinggi dari puncak langit.

Rani yang sekarat mendekap erat tangan suaminya. "Bli Wayan," lirihnya.

Dhira mendekatkan wajahnya, mengusap kening perempuan itu.

Haricatra (Trilogi Pertama, Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang