Puncak Kembar

488 65 0
                                    

Tiga mobil van hitam melesat gesit di kelokan terakhir menuju tepi Danau Tamblingan. Mulai tahun lalu, jalan besar dibangun menembus bukit utara Bali, menjanjikan akses yang lebih baik antara Bali utara dan selatan. Padahal, sejak abad kesembilan belas, sudah ada jalan raya Denpasar-Singaraja yang jadi urat nadi yang menyambung sari-sari peradaban utara-selatan. Malang, tatkala kemacetan mulai menyumbat jalanan di Bali selatan akibat lenyapnya angkutan umum, orang-orang mencari asupan oksigen ke pegunungan. Bagaikan sumbatan lemak di pembuluh arteri, Kaldera Beratan yang permai itu jadi sesak hampir setiap akhir pekan. Segala penat ibu kota tumpah di ketiga danaunya. Atas dasar itulah jalan baru dibangun,—sebuah proyek yang hanya akan memberi untung bagi developer dan pebisnis mobil. Itu hanya akan jadi alasan bahwa pulau sekarat itu masih perlu stok mobil.

Ketiga van hitam-sangar itu berhenti di sisi danau. Air Danau Tamblingan yang hijau sudah merayap jauh ke tepi barat, pertanda gunung dan hutan mulai penuh mengulum hujan. Bebauan rimba meranum. Dedaunan merekah. Pohon-pohon tua tegap bertapa, tak cemas pada peradaban swafoto yang mulai menginfeksi tepi lembah.

Soni membuka pintu dan turun tergesa-gesa. Haricatra turun dari pintu kiri, diikuti Dhira dan Rani dari pintu sisi belakang.

"Kita start di sini," pimpinan Epsilon itu berseru, cemas pada matahari yang kian miring ke barat. "Cek semua logistik. Kita bermalam di puncak."

Baru sebulan berlalu sejak Epsilon mendesak pemerintah agar lereng Gunung Sanghyang segera dibebaskan. Perjanjiannya berubah: pemerintah melepas seratus lima puluh hektar dengan jaminan bahwa Epsilon harus menemukan antikanker SALCON dalam waktu kurang dari tiga bulan. Tanah seluas itu nyaris sama dengan luas Danau Tamblingan. Epsilon memang tak mau buang waktu. Kompensasi awal dilunasi semudah memesan sepiring piza. Dewan legislatif dan eksekutif berdebat sengit setelah nota kesepakatan ditandatangani. Majelis adat dan aktivis turun ke jalan protokol ibu kota, memblokade ruas jalan selama beberapa hari. Pembebasan lahan itu adalah sebuah penodaan besar pada alam, begitu menurut yang digemborkan media.

Lalu bencana mengerikan itu memburuk, dan semua mulut bungkam bak dilalap kiamat. Dua ratus orang terinfeksi SALCON dalam waktu hanya dua minggu setelah demonstrasi besar itu. Dari total tiga ratusan kasus, separuh menemui ajal hanya dalam waktu sebulan. Grubug agung, kata orang-orang. Untuk kali pertamanya setelah tragedi Bom Bali, pulau dewata gempar, gemetar dalam cekam. Korban sebanyak itu terlalu mengerikan. Rumah sakit dijejali orang-orang sekarat yang meratap, memohon agar diberi ampun oleh maut.

Wabah mengganas, orang-orang panik, dan Epsilon mendadak disembah mentah-mentah. Nyaris seluruh stok varian antikankernya ludes dalam waktu seminggu. Manajemen korporasi itu kalang-kabut di titik bawah. Bahan baku tak bisa didapat semudah mencungkil keladi liar di hutan Pupuan atau memetik cengkeh di lereng Kubutambahan. Masih jauh lebih mudah mengekstrak racun kalajengking daripada meramu senyawa antikanker Tetraprofen besutan Epsilon.

Dan tampaknya akal Epsilon sudah buntu pada segala rupa dan ramuan farmasi. SALCON bermutasi jadi lima varian pencabut nyawa, dan semua ujung tombak ilmuwan terbaik Epsilon menyerah. Haricatra kemudian jadi anak kunci satu-satunya. Bagi Epsilon, anak itu bisa jadi penyelamat atau malah malapetaka. Korporasi tetaplah korporasi. Segala aset harus dilindungi,—dan seorang bocah yang bisa menunjukkan obat segala jenis penyakit adalah yang paling rahasia dari segala rahasia.

"Gunung Sanghyang ada di belakang Gunung Lesung ini," Soni menunjuk ke kerucut Gunung Lesung yang mengintip di sela awan jingga. Lalu, diteguknya air dari tupperware yang hitamnya menyamai warna rompi adventure-nya yang tebal. "Empat jam mendaki dan tiga jam turun. Jalurnya lewat hutan Tamblingan."

Ada sepuluh serdadu berpakaian krem dan berlabel Epsilon di dada kiri. Di punggung mereka sebuntal ransel hitam besar bercokol. Tak ada yang tampak ramah, bahkan hanya untuk mengucapkan sepatah kata pujian pada tepian danau yang eksotis itu.

Haricatra (Trilogi Pertama, Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang