Sidang Tanah

761 70 4
                                    

Sejak pukul delapan pagi orang-orang sudah memenuhi hampir tiap ruas kursi ruang sidang. Kamera berbagai ukuran bertumpuk di sudut, membuka fokus paling tajam ke tengah ruangan. Awak media bahkan sudah berseliweran sejak pukul lima pagi. Beberapa reporter perempuan berseragam khas media terus-menerus melakukan siaran langsung dengan wajah serius.

Singaraja berawan dan dingin pagi itu, tetapi Ken sudah berpeluh sejak detik pertama dia datang dan duduk di kursi paling depan. Kemejanya pastinya sudah basah di balik jas. Sesekali tangannya merengkuh dasi yang menjerat lehernya, memastikan aliran udara dan liur di batang lehernya lancar. Saat-saat seperti itu seharusnya bukan waktu yang tepat memakai dasi. Suasananya terlalu tegang. Baru kemarin malam dia terlibat perdebatan dengan seluruh anggota korporat. Lagi-lagi masalah uang. Jumlahnya tidak main-main pula: dua setengah triliun. Semua jajaran korporat murka dan mempertanyakan kembali kredibilitas Soni sebagai CEO. Dia tidak bisa seenaknya saja menggunakan uang perusahaan untuk tujuan yang belum spesifik. Pengawas keuangan mewanti-wanti bahwa Epsilon bisa kandas jika sifat kacau Soni tidak segera diservis.

Dan hari itu adalah penentuannya. Soni bakal berargumen di depan sidang masalah tanah. Ken masih belum paham apa langkah Soni selanjutnya. Dia seperti kapten yang menenggak wine terlalu banyak dan tidak melihat gunung es di depan. Tantra sampai membanting vas di meja kemarin malam karena Soni terlalu keras kepala. Kedua atasannya itu memang sama-sama berurat besi, sama-sama tidak bisa dilawan.

Ujung-ujungnya, Ken juga yang menemani Soni dalam sidang. Apa yang mesti dikatakannya nanti jika dia disuruh bicara? Tugasnya hanya pergi dari desa ke desa dan meminta tanda tangan. Selesai. Dia tidak ada sangkut pautnya dengan dana. Dia hanya melaporkan bahwa tanah siap diambil alih. Itu saja. Jika hakim mempertanyakan soal keter­libatannya dalam hal ini, bakal dia katakan bahwa dia hanya melakukan tugasnya sebagai personel perusahaan di bagian humas. Tidak lebih daripada itu. Masalah surat-menyurat dan deal sana-sini memang adalah pekerjaannya sehari-hari. Jika ada maksud tersembunyi di balik pekerjaan wajarnya itu, itu semua salah Soni.

Suara flash berdesing-desing. Di belakang riuh. Orang-orang berdiri. Lewat pintu masuk depan, Ken melihat Soni, Tantra dan seorang lagi memasuki ruangan. Tubuh mereka berkerlap-kerlip diterpa cahaya kamera. Ken bisa melihat jelas rambut CEO-nya itu kebanyakan gel. Beberapa saat Soni yang berjas biru gelap dihadang kamera, menjawab beberapa pertanyaan yang tidak jelas didengar, disertai senyum-senyum seolah-olah segala sesuatunya baik-baik saja. Secara pidana, semua memang baik-baik saja. Tidak ada masalah apa pun. Tidak ada sengketa. Mereka datang hari itu bukan untuk saling tuntut masalah kriminal. Pemerintah provinsi ingin mendengar argumen lebih jelas mengenai proposal pembelian tanah di Gunung Sanghyang. Bagi Ken justru itu yang jadi masalah besar. Soni harus belajar meredam ambisinya jika mereka tidak ingin kalah dalam adu pendapat dan fakta. Dalam sidang, setiap kalimat harus dirangkai tanpa celah dan tanpa kelemahan. Soni sejatinya seorang ilmuwan, bukan ahli strategi. Sayang sekali, dia membawa ambisi sains-nya ke dalam ranah bisnis. Seharusnya dia tidak jadi CEO, tetapi direktur sumber daya. Ken mengira, Epsilon lebih membutuhkan Soni sebagai pencampur obat daripada pengatur uang.

"Singaraja sejuk pagi ini," Soni menyapa Ken setelah duduk. Dia membuka kacamatanya, lalu mengedip-ngedipkan mata. Gempuran cahaya blits membuatnya berkunang-kunang. Semoga saja sinar blits itu tidak menyebabkan kanker kulit layaknya paparan sinar X. "Aku merasakan aura keber­untungan. Semoga saja demikian."

Ken merasakan ludahnya begitu tawar. Telapak tangannya basah dan bergetar.

Suara riuh lagi di pintu depan. Dengan lagak santai, Soni membalik badan. Matanya menajam. Pertama-tama yang dilihatnya adalah seorang pria gemuk berdasi merah, lalu seseorang berkacamata mengambil langkah di sampingnya. Tidak salah lagi, itu Dhira Tanuja. Tak mungkin Soni salah mengenal saingan lamanya itu. Alis Soni mengerut ketika menatap Dhira Tanuja berkomat-kamit menjawab pertanyaan wartawan yang terkadang sama sulitnya dengan menjawab soal speaking IELTS. Terpaan cahaya kamera terpantul di mana-mana. Baik dirinya dan Dhira sedang menjadi perbincangan hangat di kota. Keduanya sama-sama masih berstatus pahlawan dari planet berbeda. Dhira pahlawan pembela budaya, dan Soni pahlawan penemu obat. Hari itu, kedua pahlawan akan memutuskan apa yang patut dipertahankan demi kelangsungan hidup masyarakat Bali. Masing-masing punya versi terbaik. Tinggal mana yang kuat saja.

Haricatra (Trilogi Pertama, Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang