Wahyuni benar-benar tak menyangka badannya tumbuh begitu cepat. Baru setahun lalu jaket hitam itu masih kedodoran di pergelangan tangannya. Pagi itu tatkala dicobanya lagi, jaket terbaik yang pernah dia miliki itu sudah lumayan ketat. Rasanya seperti tercekik. Sebenarnya, dia masih punya sisa uang bekal dari pemerintah untuk persiapan keberangkatan, tetapi dia memilih untuk menyerahkannya kepada ibunya agar disimpan. Jumlahnya lumayan untuk ditabung.
Dan sepatu kets putihnya juga mulai kekecilan. Tak apalah. Itu kali terakhir dia akan memakainya. Sesampainya di Sydney, semua keperluannya bakal ditanggung foster family,—keluarga asuh—keluarga baik hati yang bersedia menampungnya selama sekolah. Segera setelah kementerian menyatakan dia lulus, keluarga asuhnya langsung menghubunginya via telepon sekolah. Wahyuni samasekali tak punya ponsel modern yang pintar mengirim gambar dan suara. Jadi komunikasinya hanya berlangsung di laptop tetangganya yang kebetulan baik, lewat sayap-sayap email yang tak kasat mata, di waktu-waktu yang tak bisa ditentukan.
Sepatu kets murahan, celana panjang jeans yang longgar, dan kaos terbaik yang bisa dibelikan ibunya di obralan, plus jaket hitam kesayangan. Setelan kampungan itu hanya akan bertahan sampai pintu international arrival di Sydney. Keluarga asuhnya berjanji kemarin lewat email yang dibukanya di komputer usang di warnet tepi pasar bahwa mereka akan mengajaknya membeli kebutuhan harian segera setelah dia tiba. Benar-benar keluarga yang baik. Keamanan dijamin pemerintah lewat pengawasan yang ketat. Wahyuni tak perlu khawatir nasibnya bakal semalang TKW yang disiksa majikan. Australia lumayan ramah pada manusia asing, walaupun penduduknya lebih banyak karnivora sejati.
Embun sudah tak tersisa di pepohonan peneduh jalan, walaupun hawa Singaraja pagi itu masih dingin menusuk. Matahari berbinar sempurna di cakrawala, menghalau awan jingga yang menggantung rendah.
"Jam berapa ini, Pak Tut?" Wahyuni menatap resah ke cakrawala dari kursi kiri depan.
"Jam delapan," pria itu berlogat khas Bali utara, menjawab sambil menggerakkan kemudi, awas memantau jalan di depan. "Jam besuk sudah buka. Kita bisa langsung masuk. Tapi pakai KTP Pak Tut saja ya. Kamu 'kan belum punya KTP."
Wahyuni menyahut setuju.
Pria usia tiga puluhan itu adalah pamannya. Dia yang hari itu mengantar Wahyuni ke ujung selatan pulau, sampai di gerbang keberangkatan. Setelah itu, Wahyuni harus mengurus jiwa-raganya sendiri. Pemandu beasiswa telah memberitahunya bahwa dia harus check-in, mendapatkan boarding pass elektronik, lalu memastikan gerbang keberangkatan dan nomor penerbangannya benar. Cukup memusingkan. Mondar-mandir di mall kota Denpasar saja dia tidak pernah, apalagi menaiki pesawat internasional yang harga tiketnya sama dengan jumlah penghasilan ibunya dalam beberapa tahun.
Mobil sedan silver separuh tua itu berhenti di tepi jalan. Pagi tadi pamannya meminjam mobil Toyota tahun 90-an itu dari tetangga. Kata orang, masuk terminal keberangkatan bandara internasional dengan sepeda motor adalah perbuatan yang nyaris sama dengan tingkah laku manusia purba. Meski mobil uzur, yang penting rodanya empat.
Wahyuni membuka pintu, membantingnya, lalu bergegas masuk gerbang. Beberapa orang tengah berderet menunggu antrian. Pamannya turut serta, membimbing gadis itu menuju loket. Warna dindingnya putih susu. Gerbang dalamnya terali besi yang nyaris karatan, dibalur warna biru terang yang mengelupas di sana-sini. Di dinding atas loket tertera deret tulisan biru besar yang terang: Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Singaraja.
"Waktu besuk hanya lima belas menit, Pak," petugas pria berseragam cokelat mengingatkan setelah formulir kunjungan diisi dan KTP diserahkan.
Yang akan bicara hanya Wahyuni. Sementara itu, Ketut Nada, sang paman, menunggu dan pura-pura tuli. Pria itu tak ada urusan apa pun dengan iparnya yang kini meringkuk di sudut sel, makan seadanya. Entah apakah dia juga sudah kehilangan semua keberingasan dan tabiat buas. Kali terakhir, Wayan Badra diajaknya duel karena menyiksa Padmi sampai lebam-lebam. Tetangga memisahkan mereka. Mana tega seorang adik melihat kakak perempuannya disiksa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Haricatra (Trilogi Pertama, Telah Terbit)
FantasyTerbit Januari 2022! Untuk pemesanan, isi formulir di bit.ly/novelharicatra Jika bisa kamu temukan Nagapuspa, lotus emas yang tumbuh di atas batu dan menyembuhkan segala penyakit, apa yang akan kamu lakukan? Jika kamu membagikannya kepada seluruh um...