Aku Bukan Penggemarmu

574 71 14
                                    

Sore itu Haricatra mengayuh pedal sepedanya dengan begitu kencang. Seberapa kuat pun dia mencoba melupakan raut wajah Wahyuni, tetap tak bisa lenyap dari kepala. Di menit terakhir, dibulatkannya tekad. Diam-diam, anak itu menyelinap keluar saat ayah dan ibunya lengah. Hanya perlu waktu beberapa belas menit untuk sampai jalanan Pasar Anyar. Pertemuan itu tak akan lama. Dia akan segera pulang, meski berisiko kena marah.

Wahyuni telah duduk di bawah flamboyan sejak matahari masih menyala jingga. Saat itu cahayanya sudah meredup dan sebentar lagi lampu jalan akan dinyalakan. Pedagang kaki lima sudah berkumpul dengan gerobak dan lapak yang siap dibuka. Begitu matahari meredup, mereka akan menyalakan lampu lapak dan membuka pesta kuliner kelas rakyat jelata.

"Terima kasih kamu mau datang," Wahyuni menyambut tatkala Haricatra mengerem sepedanya. "Aku tidak akan bicara lama-lama."

"Kamu mau bicara apa?" Haricatra duduk di trotoar. Kerudung jaket dinaikkannya, menyembunyikan wajahnya dari tatapan orang-orang. Diambilnya sekuntum flamboyan yang tergeletak di tepi jalan, lalu diputar-putarnya.

"Kamu dimarahi ayahmu?" Wahyuni meletakkan seongggok tas kresek hitam di sisi kiri. Dia sengaja tak mengatakan apa pun tentang topik pertemuan itu.

"Bapak tidak marah," Haricatra menggeleng.

Wahyuni lega. "Selamat, Kadek," dia membalas. "Kamu jadi penulis remaja nasional."

Haricatra tersenyum. "Karena dukunganmu juga."

"Kamu seharusnya sudah terbang ke Jakarta dan jadi terkenal. Itu pasti keren sekali."

"Dan akan ada Epsilon lain yang mengejarku," bantah Haricatra. "Epsilon penjual buku barangkali."

Kemudian mereka tertawa bersamaan. Lelucon yang aneh.

"Kamu tidak jualan?" Haricatra mengintip. Tak dilihatnya keranjang dagangan yang penuh nasi.

"Tidak," Wahyuni menyahut. "Aku sengaja ke sini karena ada hal penting yang ingin kukatakan kepadamu."

"Hal penting apa?" Siap-siap saja Haricatra mendengarkan. Tak ada lagi hal yang lebih mengejutkan minggu itu daripada mendapatkan juara menulis nasional, tidak lulus tes kecerdasan dasar dan dikejar-kejar Epsilon seperti unicorn langka yang tanduknya terbuat dari berlian.

Senyap. Wahyuni mengambil ancang-ancang. Dia ragu, akan tetapi tak ada lagi waktu lain di mana dia bisa mengatakannya selapang sekarang. Dia takut tak akan ada lagi kesempatan lain.

Haricatra menunggu.

"Aku lolos beasiswa ke Sydney, Dek," Wahyuni akhirnya bicara.

Sepercik rasa ngilu tiba-tiba mencubit hulu hati Haricatra. Padahal itu berita bagus. Tak bisa dipahaminya mengapa dadanya jadi sedikit perih. Diusir percuma juga. Perih itu tak mau hengkang, membuat fokus matanya buyar. Kepalanya memutar ke arah lain, bimbang bercampur haru.

Wahyuni menunggu balasan.

"Oh ya?" Haricatra tersenyum tanggung. Dia berusaha meluapkan kegembiraanya, tetapi tak kunjung bisa. Sungguh benci dia berpura-pura. Seharusnya dia benar-benar bahagia mendengar itu. Hatinya sedang mengalami korsleting. Pasti ada program yang rusak. Dilahap virus rindu barangkali.

Mengangguk Wahyuni. "Terima kasih, Dek," lirihnya tulus. "Jika bukan kamu yang memberiku semangat, aku tak akan berterus terang pada Meme. Meme menangis ketika aku bilang bahwa aku akan SMA di Sydney. Beliau senang sekali."

Tersenyum Haricatra mendengarnya. Dibuatnya senyum itu sepenuh mungkin, walaupun hatinya terasa tercabik-cabik. Perasaan macam apa itu,—tak tahu rimba dan maksudnya.

Haricatra (Trilogi Pertama, Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang