Nyaris anak itu tersungkur. Kotak-kotak kardus usang yang berserakan menjebak kakinya. Di ujung lorong, lelaki yang dibungkus kegelapan itu menyeringai. Tatapan matanya jadi tempat di mana maut bersemayam.
Tatkala remang cahaya memantul lembut di wajah lelaki itu, Haricatra mengeratkan gigi-giginya, separuh menahan luapan penasaran yang bergelincak di dalam dada.
"Akhirnya kamu bawa tumbalku ke sini, nenek tua," setelah penuh terurab cahaya, barulah genap semua mata mengenali lelaki itu.
Komang Jaya.
Darah Haricatra langsung mendidih.
"Menyerah karena sakit pinggangmu tak bisa diobati dengan hipnotis?" Komang Jaya berkelakar mentah. Segala jenis lelucon sudah tidak mempan lagi di ruangan itu.
"Jangan banyak bacot," tebas Sri Purnami. Dia melangkah santai ke arah tumpukan kardus besar di sisi lain, lalu menyandarkan bahunya yang mulai keropos, bersiap jadi penonton. "Lakukan saja apa yang pantas kamu lakukan pada bocah ini."
Pecah dada Haricatra mendengar itu.
"Epsilon akan sangat berterima kasih kepadamu," Komang Jaya membalas datar, memasukkan separuh tangannya ke dalam saku jins lusuh yang selalu menempel di tubuhnya, menimbang perbuatan sableng mana yang mesti dilakukannya terlebih dahulu.
Mata Haricatra liar mengemis jawaban. Sri Purnami kenal betul gelagat polos itu, namun dia memilih diam. Anak itu akan tahu sendiri, hanya waktunya saja yang mungkin sudah terlambat.
"Aku takut jika apa yang akan kulakukan sungguh-sungguh tidak pantas," Komang Jaya maju tegap. Di balik kaosnya selembar selempang kain putih-hitam terbelit kuat, jadi ciri khas pimpinan penyihir Bali utara. Otot lengannya kekar nan kusam, bersanding dengan kaos hitamnya yang ketat. Tak ada setitik kebajikan pun yang mengalir di geram napasnya.
"Di mana orang tua saya?!" hempas Haricatra. Getar suaranya begitu kentara.
"Kamu akan bertemu dengan mereka," Komang Jaya berjalan memutari ruangan, seperti mengajak keponakannya bermain gobak sodor. "Kamu yang pilih. Mau bertemu mereka di dunia ini atau di alam sana."
Bibir Sri Purnami melejit mendengar bahasa itu.
"Biar kubantu kamu memilih, bocah ompol," Komang Jaya berhenti di sisi ruangan. "Ingat tupai kecil sahabatmu itu? Dia menitipkan sesuatu buat kamu."
Haricatra tegang tak berkedip. Satu kedipan mata saja, pria cenayang itu bisa mematuk seperti ular kobra yang gesit.
Setelah memberi isyarat agar Haricatra menunggu, Komang Jaya dengan santai menarik sesuatu dari dalam saku jins. Di tangannya terjuntai bulu cokelat gemuk yang berayun-ayun menggemaskan. Komang Jaya menggoyang-goyangnya dengan riang. Suara lonceng kecil bergemerincing nyaring.
Tak ada badan. Tak ada kepala.
"Ekornya bagus sekali buat gantungan kunci," komentar Komang Jaya. "Sayang sekali. Dagingnya cuma muat untuk satu perut."
Dada Haricatra tersengat. Langsung sembab mata anak itu. Air matanya terjun cepat. Belum pernah dia berjuang menahan gempuran getir yang sedemikian dahsyat. Harapan jenis apa lagi yang bisa menyelamatkan makhluk yang sudah habis ditelan maut?
Komang Jaya tercengir. Umpannya termakan.
"Pembunuh!" Haricatra meledak.
Sri Purnami mundur sigap. Ada getaran yang begitu menakutkan dari anak itu. Sesuatu yang tak mengenakkan membentur dadanya. Firasatnya berbisik-bisik gundah. Tidak ada yang tahu apa yang bisa dilakukan bocah belasan tahun jika dilulur amarah,—apalagi bocah yang biasa bersua dengan binatang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Haricatra (Trilogi Pertama, Telah Terbit)
FantasyTerbit Januari 2022! Untuk pemesanan, isi formulir di bit.ly/novelharicatra Jika bisa kamu temukan Nagapuspa, lotus emas yang tumbuh di atas batu dan menyembuhkan segala penyakit, apa yang akan kamu lakukan? Jika kamu membagikannya kepada seluruh um...