Janji

526 71 2
                                    

Tiga jam lalu, Wahyuni masuk ruangan dingin dengan tulisan 'hemodialisis' di atas pintu kaca buramnya. Dia berbaring dililit rimba selang-selang transparan, alat-alat berbagai wujud dengan suara 'bip bip' yang konstan, dan berbagai jenis mesin yang namanya tak perlu diketahui pasien.

Darah yang mengalir pelan lewat selang halus adalah satu-satunya hal yang menarik bagi matanya. Itu adalah darahnya sendiri, tempat di mana maut bersarang. Dokter tengah berusaha menyaring maut itu agar tak kembali ke tubuhnya. Apakah usaha itu akan berhasil atau tidak, Wahyuni tak punya tebakan. Dia hanya merasa maut semakin garang. Ketika tadi pagi ibunya merapikan rambutnya, segumpal rambut malah rontok dan tersangkut di sisir. Lalu ibunya menangis, meluluhkan segala sesak di dada. Hati Wahyuni jadi perih bukan kepalang, menyesal jika sisa hidupnya habis sebagai beban buat orang lain.

"Meme pulang saja," Wahyuni menyapa ibunya. Sapaan yang benar-benar tak wajar. Kata-kata itu seperti sebuah kalimat untuk mengusir. Mau bagaimana lagi. Wahyuni sudah tidak bisa berpikir. Ibunya tidur di lantai dengan alas matras tipis pemberian tetangga yang menjenguk, dan itu sudah berlangsung berhari-hari. Bagaimana pikirannya bisa nyaman di ranjang sementara ibunya kedinginan siang dan malam.

"Kalau disuruh ambil obat lagi ke apotek bagaimana?" balas Padmi. Dia menyibak helaian rambut yang menutupi alis anaknya.

Padmi ke apotek rumah sakit beberapa kali sehari. Ambil obat suruhan perawat, katanya. Setiap kali ibunya kembali, ada beberapa lipatan kertas yang dimasukkannya cepat-cepat ke dalam tas. Tak ada cerita apa pun tentang obat macam apa itu. Yang berhak memasukkan obat itu ke dalam tubuhnya hanya dokter. Tapi tetap saja, setiap yang diterima pasti perlu bayaran. Tak semua obat gratis. Tak sopan rasanya bertanya berapa uang yang telah ibunya habiskan. Penyakitnya bukan penyakit biasa yang sembuh dua-tiga hari. Tubuhnya telah menjadi sarang penyakit paling mengerikan yang ditakuti umat manusia. Obat yang ditebus pastinya bukan kapsul yang harganya sama dengan obat sakit kepala di kios pojok pasar.

Wahyuni terdiam. Raut ibunya diperiksanya dalam-dalam.

Setelah darahnya disaring barusan, kepalanya jauh lebih ringan. Sebelumnya, dia tidak bisa tidur sama sekali. Ada sesuatu yang menusuk-nusuk di bawah kulit dan memangsa sel-selnya terus-menerus. Kian hari jarinya makin kaku, lidahnya makin kelu. Bubur rumah sakit yang lembek itu hanya bisa masuk seperempat ke dalam mulutnya. Setelah itu dia bakal muntah. Kadang dibarengi mimisan.

"Ada apa, Me?" Wahyuni peka. Kalau sudah ibunya diam dengan mata bergerak-gerak resah tanpa fokus, pasti ada sesuatu yang sedang bersembunyi di ujung lidah.

Padmi tersadar. "Haricatra," dia melenguh tipis. "Anak itu nekad. Sekarang semua orang mencarinya. Dia lenyap."

Mata Wahyuni membelalak. Dia nyaris bangkit dari tempat tidur.

"Tidak pulang ke rumah," jelas Padmi. "Ke sekolah pun tidak. Orang tuanya sampai panggil polisi."

"Dia mau cari Nagapuspa buat saya," Wahyuni mengaku. Gelombang badai di batinnya makin riuh. "Jangan-jangan dia tersesat jauh dan,—"

Kalimatnya terpenggal. Pikirannya langsung membayangkan kemungkinan terburuk yang tak akan pernah sudi dikatakannya.

Padmi duduk di kursi dan berusaha membuat badannya yang letih nyaman. Namanya rumah sakit. Tak ada yang menyenangkan. Bau antiseptik di mana-mana. Penunggu pasien bangsal tidur di depan pintu, beralas tikar pandan atau matras yang ditumpuk tiga sebagai perisai hawa dingin yang memancar dari lantai dan serambi. Mereka mengobrol dengan penunggu pasien lain, menumpahkan beban di kepala seperti tetangga-tetangga baru di rumah susun. Masing-masing punya tanggungan sakit yang berbeda-beda rupa.

"Anak seperti itu perasaannya halus," demikian Padmi melanjutkan. Tangannya meraih nampan bubur dan membuka selubung plastik tipisnya, bersiap menyendok secuil bubur dingin dan membujuk anaknya makan. "Sekali dia dikhianati, dia akan hancur. Kasihan. Ujian kesetiaan itu ada pada pengkhianatan."

Haricatra (Trilogi Pertama, Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang