Murka

602 74 15
                                    

Baru saja bubur kacang hijau Rani bergelincak panas di dalam panci ketika anaknya datang tanpa suara. Biasanya, Haricatra akan langsung menempelkan kepala di ambang pintu dapur, menanyakan apa menu makan siang yang bisa dikunyahnya. Kadang dia langsung menyambar pintu kulkas, mengambil sekaleng kecil yogurt padat dan menjilatinya selama setengah jam sampai benar-benar habis. Tumben bocah itu langsung lewat begitu saja tanpa sepenggal kata.

"Dek?" kepala Rani menyembul dari pintu dapur. Bau gurih mendudus. Tadi Dhira meneleponnya dan berkeluh tentang rasa rindunya pada bubur kacang hijau dengan potongan pisang yang besar. Rani hanya terkial menanggapi permintaan kekanak-kanakan itu. Apa boleh buat. Permintaan yang mulia raja, sekecil apa pun harus dituruti. Di siang yang terik itu dia membeli sebungkus besar kacang hijau dan setandan pisang klepok yang manis, lalu memulai praktikum.

Api kompor padam. Berbicara dengan Haricatra biasanya perlu waktu agak lama. Rani tidak mau mempersembahkan bubur kacang hijau gosong untuk suaminya.

"Tumben kamu tidak bilang kalau sudah pulang," Rani muncul di pintu kamar anaknya.

Haricatra telentang pasrah di kasur. Tenaganya benar-benar habis. Mata anak itu terpejam menghayati letih.

Rani masuk dan duduk di sisi kasur. 'Aroma toko' tercium. Kemeja seragam anaknya yang putih bersih seperti anak kelas tujuh mengundang pertanyaan. Cerita dimulai dari siput malang kecil, laba-laba raksasa hingga ibu guru BK-nya yang memberikan seragam gratis karena belas kasihan. Haricatra mengakhiri ceritanya dengan wajah pecah.

"Tidak apa-apa," Rani menepuk pundak anaknya yang rebah. "Orang baik memang kadang disakiti."

Mulut Haricatra berdecak. Dia membuang muka. Itu bukan jawaban yang dia inginkan.

Ibunya bangkit, menyasar meja, merasai tumpukan kertas dan buku. Di meja itu segala jenis buku berjajar. Diambilnya satu. Sesosok monster menyeringai di sampul depan.

"Guru Monster?" Rani menangkat buku itu, menunjukkan judulnya yang aneh. "Mengapa penulis buku ini punya ide tentang guru monster?"

Pertanyaannya tidak disambut.

"Ini buku favoritmu kah?" Rani membolak-balik halamannya. Ada bekas coretan dan highlight di sana-sini. Haricatra pasti tak melewatkan satu pun kata. Dibukanya satu halaman. Kalimat pertama yang dibacanya adalah ...dan Mrs. Gold menjulurkan lidahnya yang panjang, lalu mencicipi bangkai kucing itu.

Menjijikkan sekali. Langsung buku itu ditutupnya dan dijajarkannya lagi di meja.

"Ibu membayangkan salah satu buku ini adalah karyamu," Rani memilih buku lain. Kamar anaknya seperti sebuah perpustakaan fiksi. "Akan menjadi hal yang sangat membanggakan."

"Sudah lima kali saya gagal," Haricatra membuka sepatunya.

"Kamu masih empat belas tahun, Kadek," Rani menemukan buku yang dicarinya: Blusukan. Lumayan berat untuk dibaca anak SMP. "Saatnya belum tiba. Proses yang sempurna perlu banyak kegagalan."

"Termasuk portofolio saya?"

Rani berbalik, duduk segera di samping anaknya. Itulah yang ingin dikatakannya sejak tadi. Entah apa yang menyebabkannya harus berputar-putar. "Ya," dia menyahut. "Kamu punya banyak tulisan selama SMP, bukan?"

"Itu proyek individu."

"Lalu apa yang tadi dikatakan guru konselingmu itu?"

Kaget Haricatra. "Kenapa Ibu bisa tahu?"

"Dia menelepon Ibu sebelum kamu datang."

Anak itu melenguh. "Itu portofolio kolaborasi," terangnya. "Proyek kelompok. Saya tak kebagian kelompok."

Haricatra (Trilogi Pertama, Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang