Ujung Lorong

534 72 0
                                    

Pintu bergeser. Cahaya menyerbu. Haricatra mengangkat lengannya ke wajah, menyeka terjangan terang. Aroma antiseptik menyublim samar di udara yang tak kalah dinginnya, lalu perlahan-lahan lenyap. Ada kilasan bau sitrus yang nyaman, menari-nari tanpa wujud di jalur napas.

"Kuat berjalan?" Soni bertanya. Agak dilonggarkannya rangkulan lengannya yang panjang.

Haricatra mengangguk setelah matanya benar-benar normal. Mereka sedang berdiri di pangkal sebuah lorong panjang yang hampir seluruhnya terbuat dari kaca. Bagian kanopi lorong itu juga terbuat dari kaca transparan yang melengkung dan samasekali bersih dari segala jenis debu. Nun jauh di atas, di atap yang melengkung putih nan tinggi, puluhan lampu bundar menggantung tak bergerak, memberi asupan cahaya yang terangnya bagai siang hari.

Melihat remaja itu kebingungan, Soni mengulum senyumnya. "Selamat datang di pusat karantina Epsilon," dia mengembangkan lengan. "Kamu sedang berada di salah satu bangunan terbesar di Canggu,—salah satu pantai paling indah di pulau dewata."

Tak sanggup mata Haricatra berkedip. Lorong tempat mereka berpijak berada tepat menembus ruangan yang lumayan besar itu. Lewat dinding kaca yang melengkung, bisa dilihatnya ke lantai bawah. Petugas medis berseragam biru terang berseliweran di antara ranjang-ranjang pasien. Di sisi kiri, deretan ranjang dengan selubung kaca menarik perhatian. Di kanan, ada ranjang-ranjang penuh pasien dengan wajah tertutup sepenuhnya oleh intubator. Ada blok-blok kotak yang tertutup rapat, dan di dalam blok-blok itu pastinya ada pasien dengan rupa penyakit yang terlalu rumit untuk dibahas dengan kata-kata biasa.

"Ada seratus pasien di bawah sana," ungkap Soni. "Kita sedang mengawasi mereka langsung dari atas."

Setiap gerak-gerik yang berlaga di dasar ruangan itu menjerat mata Haricatra untuk terus memandang, menyandera segenap pikirannya untuk terpukau beberapa saat. Berjalan di lorong itu serasa meniti jembatan kaca di gerbang keberangkatan sebuah bandara di musim liburan.

"Dan mereka semua sedang sakit parah," Soni berbisik. Ditahannya lanjutan kalimatnya beberapa saat. "Lebih tepatnya sekarat."

Bocah itu menoleh, mengharapkan penjelasan tingkat lanjut. Tangannya meraih pembatas tepi, lalu digenggamnya erat. Belum pernah dilihatnya orang sakit sedemikian banyak. Seharusnya Epsilon punya obat yang manjur untuk penyakit dari kelas mana pun. Mengherankan saja bahwa di dalam perut sehat Epsilon tersembunyi begitu banyak pasien dengan alat pemindai sinyal-sinyal badan yang berderet menyala di samping setiap ranjang.

"Kamu punya sahabat, Haricatra?" Soni kembali merangkul pundak remaja itu. Mereka berjalan santai, menyasar ujung lorong yang masih lumayan jauh.

Bibir anak itu kelu. Jawabannya macet seperti keluar dari otak yang karatan. "Tidak, Pak," tetesnya. Meski tadi terlintas dalam benaknya wajah Wahyuni yang manis itu, dia memilih bungkam.

"Orang-orang yang kamu cintai?"

"Ada," Haricatra mengingat-ingat. Rasanya sesulit menjawab ulangan sejarah. "Orang tua saya."

Soni menggumam sambil manggut-manggut setuju. "Anakku juga seumurmu," terangnya. "Aku punya tiga anak. Yang pertama baru lulus kuliah di Singapura. Anak keduaku seumurmu. Dia suka main bola. Semua stadion di Bali pernah dicobanya."

Hening.

"Yang ketiga?" Haricatra bertanya.

Soni menghentikan langkah. Pria itu kemudian maju, menatap lurus ke sisi kanan, menyasar deretan ranjang nyaris di sudut. Haricatra mengekor.

"Dia ada di sana," Soni menunjuk ke satu titik.

Dada Haricatra bergelincak. Tak jelas dilihatnya anak yang ditunjuk Soni, namun batinnya mencium sesuatu yang tidak mengenakkan.

Haricatra (Trilogi Pertama, Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang