Remang

582 65 7
                                    

Sri Purnami tak bicara sepatah kata pun selama mereka menerobos cepat di sela kerumunan pasar, menepis tirai-tirai bebauan tengik bercampur kembang-kembang yang baru dipetik di perbukitan Busungbiu*. Haricatra mengekor tanpa berani bicara. Batinnya remuk berantakan. Hari itu dia tak tahu lagi tempat mana yang bisa disebutnya rumah dan ke mana dia mesti pulang. Dia harus melakukan sesuatu, dan tampaknya Sri Purnami punya rencana,—atau malah tidak samasekali.

"Kamu baik-baik saja?" Sri Purnami berhenti tatkala bersiap menikung di sebuah gang sempit yang temaram.

"Entahlah," Haricatra menyahut gamang. Tak bisa ditafsirnya derajat perasaannya.

"Saat ini bukan waktu yang tepat memikirkan pilihan," Sri Purnami mengeratkan lilitan syalnya yang mengendur. "Lagipula, tak ada opsi yang bisa kamu pilih,—setidaknya untuk sekarang."

Kemudian, perempuan berkerudung itu masuk ke lorong, menyelinap di kaki kegelapan. Haricatra menahan napas. Masuk ke gang sempit itu seperti menjelajahi gua purba. Di kiri-kanannya pintu-pintu tertutup rapat. Jendela-jendela kaca hampir semuanya tertutup kain lusuh yang bertahun-tahun menjaring partikel-partikel debu. Satu-satunya yang menjadi pertanda bahwa ada kehidupan di balik semua pintu itu adalah cahaya jingga lemah yang menembus serat-serat kain tirai, dan suara ringkikan pria dan wanita yang entah sedang menonton komedi jenis apa. Sungguh tak bisa dipercaya ada lorong sesuram dan sejorok itu di pusat kota Singaraja. Tampang blok-bloknya yang buram, lusuh dan ketinggalan zaman tak layak bahkan untuk jadi rumah kontrakan kelas paling murah sekalipun.

Seorang pria terbahak di balik pintu. Haricatra menoleh. Jendela-jendela bertirai kelam itu berpendar layaknya kelir wayang yang redup. Berbagai tabiat manusia tengah memainkan lakon di baliknya. Ada bayangan pria berjanggut yang napasnya digerogoti batuk. Di balik sekat tembok satunya lagi, seorang bayi menjerit pilu. Adegan sinetron TV di blok sebelahnya mungkin mengganggu tidurnya yang lelap. Sementara itu, di blok lain yang bungkam tanpa cahaya, seseorang mendesah sempurna.

Haricatra batuk sekali. Dia mual luar biasa.

"Epsilon itu reptil," Sri Purnami berujar tegas. Bebauan anyir bekas buangan manusia samasekali tak membuatnya terganggu.

Dan entah apa yang dimaksudnya dengan reptil.

"Berdarah dingin," ulangnya,—dalam bahasa yang paling sederhana. "Mereka tidak membedakan anak-anak, tua atau dewasa. Sama seperti kamu yang tidak peduli mana ayam dewasa dan ayam remaja ketika terhidang di atas piring."

"Kami tidak makan daging," putar Haricatra.

"Oh ya? Sejak kapan?"

"Sejak kecil sekali."

"Amazing."

"Setiap makan daging, saya muntah."

"Ah," Sri Purnami tertawa ringkas. "Herbivora sejati."

Haricatra tak merespons. Dia mengharapkan jawaban dewasa. Selama ini, jawaban yang didapatnya hanya bualan anak-anak. Radit contohnya. Dia berkata kalau anak herbivora tak akan pernah mengalami yang namanya mimpi basah. Anak empat belas tahun yang tak pernah mimpi basah adalah spesies yang tidak normal. Tak punya masa depan.

Peduli amat. Pernah atau tidak Haricatra mengalaminya, itu samasekali bukan urusan siapa pun!

"Kalau begitu, kamu bukan ular, Kadek."

Dikatai seperti itu, batin Haricatra tambah ricuh.

Sri Purnami terdiam. Haricatra menunggu. Dicobanya menghirup udara anyir itu. Tak bisa. Perutnya bergelincak. Entah bagaimana orang bisa hidup di tempat sekotor itu,—nyaris tanpa kebagian cahaya yang layak dan oksigen yang tipis pula.

Haricatra (Trilogi Pertama, Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang