Cinta Itu Tidak Buta

951 94 6
                                    

Gerbang rumah Wahyuni begitu mungil, berbalut cat putih yang luntur digerogoti waktu, dan nyaris muat hanya untuk satu orang keluar-masuk. Kesannya seperti melewati metal detector karatan. Tatkala dia mendorongnya, decitnya membuat kuping jadi tambah masam. Aroma macam-macam menyerbu hidung,­—ciri khas nuansa perumahan padat penduduk. Orang-orangnya mesti bersahabat dengan suara bising rumah tangga yang cekcok sambil membanting-banting alat dapur, atau pengapnya aroma bumbu bawang goreng dari dapur tetangga.

Kaki pertama yang dilangkahkannya adalah kaki kanan. Selalu begitu. Wahyuni kadang-kadang harus berharap pada hal-hal metafisika yang sebagian dianggap tahayul. Melangkahkan kaki kanan di langkah pertama konon bisa membuat keberuntungan datang, dan itu adalah hal yang selalu dia nantikan. Dia sudah bosan pada kesialan.

Kanan. Kiri. Kanan. Kiri.

Sudah tidak ada lagi di antara anggota keluarganya yang mengingat kapan terakhir engsel gerbang itu dilumasi. Yang jelas, nuansanya begitu purba dan asing. Rumah itu seperti sebuah kastil mungil tua di mana semua hal tidak mengenakkan besarang dan memantul di setiap inci dindingnya yang lapuk.

Kanan. Kiri.

Ada suara logam jatuh dari dalam rumah. Kasar betul. Jantung anak itu langsung melompat-lompat. Cepat-cepat dia melangkah.

"Perempuan banyak mulut!" seseorang melolong.

Tak ada kemungkinan lain lagi selain tragedi yang sama. Kali terakhir rumahnya jadi medan tempur adalah ketika iblis itu datang Sabtu lalu dan merampas seluruh uang di laci,—dari yang kertas hingga keping terkecil. Suasananya selalu seperti dongeng Timun Mas yang disambangi raksasa Buto Ijo. Pahit mencekam.

"Aku butuh uang itu sekarang! Apa kepalamu tidak juga paham kata-kataku?!"

Langsung asap gelap menyerbu paru-paru Wahyuni dan mencekik lehernya hingga benar-benar sesak. Tidak ada orang lain di rumah itu kecuali ibunya dan seorang laki-laki bersuara bagaikan gong pecah yang disebutnya bapak. Kedua suara itu sangat dikenalnya,—yang satu milik malaikat dan yang satu lagi iblis. Lantai rumah penuh pecahan gelas, piring dan entah apa lagi,—persis film Perang Dunia Kedua yang sempat diputar guru IPS-nya di sekolah. Di hari lain, saat semua orbit kesialan berada dalam satu garis, pertumpahan darah kadang terjadi.

Di tempok samping pintu, anak itu menguping.

"Tidak hari ini, Bli!" itu suara ibunya. Wahyuni menurunkan alis, gerimutan. Jemarinya semakin kuat mencengkeram kusen. Suara itu berlanjut, "Semua uang itu untuk biaya belajar Putu. Tiga bulan lagi dia tamat SMP. Dia perlu uang!"

Suara ibunya juga tak kalah berang. Sudah sekian lama hal semacam itu menjadi hantu yang tidak bisa diusir dari rumah mereka. Seharusnya ibunya sudah gila.

"Kalau begitu mana sertifikatnya?!"

Wahyuni melihat ayahnya bangkit berangasan. Loba dalam dada lelaki itu pastinya sudah tidak bisa dikipas-kipasi lagi dengan kata-kata yang lembut. Seperti bara api panggangan, semakin dikipas semakin panas hawanya.

"Sertifikat apa maksud Bli?!" bela Nyoman Padmi, si ibu kurus kering yang tengah menggigil hebat di dinding. Segala upaya mungkin telah dia lakukan sejak tadi agar kepala laki-laki itu bisa paham situasi.

"Sertifikat tanah dan rumah yang kamu injak ini, perempuan bodoh!" umpat Wayan Badra, si lelaki kasar itu. Diambilnya sebilah pisau, dan ditudingkannya tepat ke arah leher istrinya.

"Mau apa Bli dengan sertifikat itu?!"

Pisau makin dekat. "Bukan urusanmu!"

"Tidak akan saya berikan!"

Haricatra (Trilogi Pertama, Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang