Batur (I)

493 67 0
                                    

Benar-benar tangga sialan. Kaki Haricatra tersandung berulang kali sejak mulai turun di lantai empat. Kakinya ngilu sejak tadi. Kepalanya pening bukan main. Mau tak mau, dia harus terus berlari.

"Ambil ponsel bapak," Dhira terengah setelah mereka sampai di basement. "Kita harus pisah. Bapak akan mengelabui mereka. Kamu tunggu taksi online. Oke?!"

Haricatra mangap-mangap. Instruksi bapaknya hanya masuk separuh.

"Suruh dia antar kamu ke gerbang Geopark di Panelokan. Paham?"

Panelokan. Entah di mana tempat itu.

"Dengar!" Dhira mencekal bahu Haricatra, menyadarkannya dari linglung. "Jangan lewat tempat parkir. Keluar lewat pintu darurat. Lari sekencangnya kalau taksinya sudah dekat. Oke?"

Mengangguk liar Haricatra. Sekujur tubuh anak itu tegang bukan kepalang. Tiga orang suruhan Epsilon itu sudah nyaris sampai bawah. Langkah sepatu mereka terpantul jelas di lantai, membuat telinga makin awas.

Haricatra menggenggam erat ponsel ayahnya.

"Jaga dirimu, Dek," Dhira memutus percakapan. Dia berbalik. Parkiran ada di sebelah kiri. Haricatra harus belok kanan ke lorong darurat untuk menghilangkan jejak.

"Pak!" sebelum Dhira melangkah, Haricatra memanggil.

Wajah Dhira yang berpeluh menatap balik. Diresapinya ekspresi anaknya yang polos itu, berbaur dengan pucat cemas yang sudah terlalu kentara.

"Bapak akan baik-baik saja, 'kan?"

Napas Dhira terembus cepat. Dia tak bisa berjanji. Sungguh tak bisa ditebak apa yang akan Epsilon lakukan pada anaknya jika berhasil tertangkap. Akan tetapi anaknya perlu kejelasan. Dhira tak boleh memberikan jawaban yang samar dan tak pasti.

"Kita akan bertemu di gerbang Panelokan," Dhira menatap pasti, lekat ke bola mata anaknya yang pucat pasi. "Bapak janji. Jangan pergi dari sana sampai Bapak datang. Kalau ada telepon selain Bapak, jangan katakan kamu ada di mana."

Kemudian Dhira mendorong anaknya, memak­sanya bergerak lekas sebelum pria-pria sangar tadi mengendus dan menemukan jejak rencana mereka. Tak sempat Haricatra menoleh ke belakang. Langkahnya terus terdorong maju, menelusuri lorong, mencari tangga keluar. Seragamnya sudah tercabut total dari apa yang namanya 'memasukkan ujung kemeja ke celana dengan rapi'. Dia sungguh benci kejar-kejaran.

Dhira melesat cepat ke parkiran. Tiga anak buah Epsilon itu tiba di dasar tangga. Melihat Dhira meliuk di antara deretan mobil, mereka tak pikir panjang. Diletupkannya satu tembakan. Peluru menerjang. Dhira meliuk cepat. Nyaris punggungnya kena.

"Kejar!" perintah pria botak berkacamata.

***

Lorong terbagi dua di depan. Jalur T. Temboknya semen halus bercat hijau dan merah. Lampu-lampu lonjong berpendar kekuningan di sepanjang lorong. Tak ada waktu menghitung kancing dengan opsi kiri-kanan. Tanpa berpikir lagi, Haricatra langsung berbelok ke kiri, berharap menemukan jalan keluar, lift atau apalah.

Sepatu kets putihnya berdecit serau. Anak itu tiba-tiba berhenti. Ekspresi kejut di wajahnya mencapai puncak.

"Hei!" hentakan suara yang berat menerjangnya dari ujung lorong. Dua orang berjas hitam sedang menuding ke arahnya, lalu segera mengejar. Haricatra berbalik arah. Tubuhnya bergayut maju, meradang. Dia harus ambil jalur berlawanan. Jika sampai dia tertangkap, matilah dia.

"Berhenti!" orang itu melolong lagi. Kali itu lebih sangar.

Suara letupan beberapa kali. Nyaris tak terdengar, khas senapan bius. Walau tak mematikan, rasa sakit jika terkena ujung peluru itu sama dengan disengat kalajengking raja.

Haricatra (Trilogi Pertama, Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang