Tarian Tupai

1K 101 15
                                    

"Jangan ganggu dia!" seseorang menghardik dari sisi jauh.

"Apa masalahmu, hah?!" Nugraha meluap kalap. Dugaannya meleset total. Tak pernah terlintas dalam kepalanya jika barusan mulutnya nyaris kemasukan ujung sepatu perempuan. Dengan jijik dimuntahkannya segumpal liur ke samping, lengkap dengan sepenggal kata makian yang keruh, berharap semua aib terkena sepatu perempuan tak sampai membuat wibawanya merosot.

"Beraninya cuma pada anak yang lemah!" gadis itu menghardik, membuat kesan berani yang menantang. Dia berdiri tegap dengan satu kaki tanpa sepatu. Postur tubuhnya seperti pesilat yang memasang kuda-kuda. Rambut anak itu sepunggung, dijalin rapi menjadi dua kepangan simetris yang menggantung santai di belakang kepala. Pokoknya, penampilannya seperti Usagi Sukino sang Sailor Moon.

Ketiga anggota Geng Panda berdiri memasang barikade, melupakan sepenuhnya Haricatra dan tupainya yang mengenaskan. Martabat Nugraha sang ketua geng baru saja terancam, dan sudah menjadi tugas anak buah untuk membela atasan. Sepatu kucam itu benar-benar telah mendepak bibir Nugraha dan menurunkan posisinya setara kucing garong nakal yang dibenci emak-emak.

Rangga menuding marah. "Heh! Mau berkelahi dengan kami?!"

Gadis itu melenguh rendah, meremehkan. "Jadi sekarang kalian mau menantang perempuan?" tikungnya. "Apa bangganya kalau kalian menang melawan anak perempuan?"

"Kamu banyak omong!" Nugraha menunjukkan tinjunya. Pastinya dia memikirkan apa yang gadis itu katakan. Apabila tinjunya dipakai untuk memukul anak perempuan, itu samasekali bukan sebuah kebanggaan. Kasus seorang murid laki-laki memukul murid perempuan satu kelas pastinya bakal menjadi topik memalukan selama satu semester. Tidak ada anak laki-laki sejati yang mau melakukannya.

"Silakan dipilih," anak gadis itu mulai bermain otak. "Kalian mau mengeroyokku dan jadi bahan bully satu sekolah atau pergi sebelum kulaporkan kepada guru konseling?"

Rahang Nugraha bergemerutuk. Kedua pilihan itu sama-sama mengerikan. Tidak mungkin dia mengeroyok anak perempuan. Wibawanya sebagai kepala geng bakal hancur lebur. Jika dia tidak beranjak dari sana, esok dia harus bersiap dipreteli Pak Garga, guru konseling yang tak peduli pada peringatan komisi perlindungan anak. Guru itu siap dipenjara asalkan anak didiknya tetap digembleng dengan serius.

Melihat Nugraha kebingungan dengan pilihan yang ditawarkannya, si anak gadis menyimpul tangannya di dada, menghias wajahnya dengan senyum sinis yang memuaskan.

"Awas kamu!" itu kata-kata terakhir Nugraha, laksana roket kadaluwarsa yang kehabisan bahan bakar. Dengan wajah dipenuhi awan kelam yang mengulum petir, Nugraha memberi isyarat pada Radit dan Rangga agar segera balik kanan dan bubar.

Haricatra melihat semua adegan itu seperti sebuah film superhero yang fantastis. Sailor Moon telah menolongnya hari itu. Bocah itu batuk-batuk. Punggungnya nyeri luar biasa. Kedua tangannya gemetar di dada. Susah payah dia bangkit.

"Kamu tidak apa-apa?" gadis itu mendekati Haricatra yang sempoyongan.

Haricatra tak menjawab. Mulutnya terasa begitu tebal, penuh debu bercampur liur. Di saat-saat terakhir tadi, Nugraha sempat menyumpal wajahnya dengan sebuah tendangan Kamehame yang penuh luapan debu.

Sailor Moon berseragam putih-biru itu memungut kembali sepatu kanannya, menaikkan satu kaki, lalu memasangnya kembali dengan keseimbangan yang bagus. Setelah terpasang, gadis pahlawan itu menghentak-hentakkan kaki kanannya, memastikan posisi sepatunya sudah benar-benar pas.

"Namaku Wahyuni," dia menjulurkan tangannya dengan sebuah senyum tegas di wajah.

Haricatra mengedip. Ketika dia berniat menjulurkan tangannya, tupai malang yang sedang didekapnya mendadak menggeliat-geliat lagi, ingin meloloskan diri dari dadanya yang pastinya bau apak. Sayang, dia harus melupakan jabat tangan fantastis itu.

Haricatra (Trilogi Pertama, Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang