Ke Selatan

457 71 0
                                    

"Dari mana kamu belajar melempar batu seperti itu?" Dhira bertanya. Mobilnya berbelok di blok perumahan. Gas ditancap. Mereka mesti bergegas.

"Wahyuni yang mengajari saya," terang Hari­catra, mengusap peluh yang merambat deras di pipinya. "Hanya saja waktu itu kami latihan pakai sepatu."

Dhira berbelok lagi di tikungan, tanpa meme­lankan laju. Ban mobil itu mendecit nyaring, membuat gigi kesemutan. Mereka mesti meninggalkan jejak secepatnya.

"Bagaimana Bapak bisa menemukan saya?" Haricatra mengurap wajahnya yang berdebu.

"Wahyuni yang memberitahu Bapak."

Mata Haricatra melotot. "Bapak tahu Wahyuni dari mana?"

"Anak gadis itu, 'kan?" kepala Dhira miring, sesekali melirik anaknya di kiri kemudi. "Memang­nya siapa lagi yang namanya sering kamu sebut ketika mengigau malam-malam?"

Memaling muka Haricatra, berbalik menatap kaca samping. Rasa malu terbit merah di pipinya. Tumben bapaknya bisa bercanda di tengah situasi genting semacam itu. Tak pernah disangkanya seseorang telah mengintipnya ketika tidur, menafsir asal-muasal mimpi-mimpi remajanya.

"Jangan buat masalah lain lagi," Dhira mewanti-wanti. "Setidaknya sampai yang ini beres. Paham?"

"Ya, Pak."

Ternyata masih sama. Bapaknya masih sangar.

"Tadi Bapak antar ibu ke Tejakula," sesekali Dhira melirik spion tengah dengan mata tegang. "Malam ini kita menginap di sana. Epsilon ada di mana-mana. Mereka terus mengincarmu."

"Bapak tidak lapor polisi?"

"Kamu pikir polisi mau main tangkap tanpa bukti?"

Alis Haricatra turun. Bukankah buktinya cukup jelas?

"Tidak ada bukti kalau kamu dianiaya atau diculik," sahut Dhira. "Urusannya ribet. Epsilon bukan hanya gudang obat, tapi gudang akal."

Haricatra mendesau. Batinnya gundah.

"Bagaimana pun caranya, kamu harus Bapak sembunyikan," Dhira mencucur tegas. "Kamu pegang kunci. Kamu satu-satunya yang bisa masuk hutan Nagapuspa,—di antara semua manusia yang ada di planet ini."

Lidah Haricatra mengusap bibirnya yang kering kerontang.

"Kamu tahu apa artinya itu?"

Si anak terdiam. Apa pun itu, pasti buruk.

"Kamu jadi buronan elit, Kadek," Dhira mene­kan tiap kata. "Sekarang Epsilon, lalu besok mafia obat Asia Tenggara. Lusa, kamu diburu bankir dunia."

Dhira tak melanjutkan kata-katanya. Entah anak SMP paham istilah bankir atau tidak.

"Memangnya apa salah saya?" Haricatra mendesak.

"Kesalahanmu satu," sahut Dhira getir. "Kamu tahu terlalu banyak."

Dada Haricatra mampat dibuatnya. Itu samasekali terbalik dengan kata 'bodoh' yang sering ayahnya katakan.

Mobil itu meliuk di jalanan kota, menyasar arah yang tak tentu. Dhira berpikir panjang. Keluar­ganya mesti selamat. Terlunta-lunta di jalanan bukan solusi yang tepat. Tak ada yang bisa mereka percayai. Lapor polisi bukan jalan keluar. Epsilon adalah perusahaan elit. Jaringannya ada di Asia Tenggara. Infiltrasi elit lazimnya merambah di segenap kaki tangan penguasa.

"Mereka di belakang, Pak!" Haricatra melirik spion kiri. Segala rasa aman di wajahnya buyar seketika.

Beberapa puluh meter di belakang mereka, sebuah mobil adventure hitam beroda keriting besar merangsek maju, menyalip cepat. Kaca depannya benar-benar gelap. Tak jelas wajah pengemudinya.

Haricatra (Trilogi Pertama, Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang