Lari

509 69 4
                                    

Sepatu ketsnya berdecit di lantai kelas. Putih agak kusam bekas tertempel debu berhari-hari. Haricatra mesti bergegas. Tak akan dipakainya sepatu itu lagi sampai didengarnya kabar hasil tiga tahun duduk di bangku kayu. Yang jelas, hari itu bukan hasil ujian yang membuatnya cemas.

"Sampai jumpa!" Nindy, si gadis terpandai di IX B, melambai-lambai pada setiap manusia yang dipapasnya. Ada genangan air mata di mukanya. Kawan-kawan karibnya yang rata-rata berkacamata tertular ekspresi yang sama. Gadis itu, seperti biasa, sedikit berlebihan. Hanya dia yang meluap-luap ketika membaca puisi Sapardi Djoko Damono di kelas Bahasa Indonesia. Yang lain cukup hanya mengantuk.

"Sampai ketemu lagi, Hari," begitu sapaan Nindy, tepat di tepi pintu masuk.

Haricatra berhenti. Nyaris mereka bertabrakan

"Sama-sama," Haricatra menegakkan wajahnya. Senyumnya tanggung. Perlu muka yang tebal kalau ingin bicara pada Nindy. Haricatra takut kebo­dohannya bakal menular. Nilai matematikanya selalu terbalik dengan gadis itu.

"Tiga tahun yang menyenangkan," komentar Nindy. "Akhirnya berakhir juga. Dadaku jadi sesak."

Bahasa puisi lagi.

"Aku harus segera pulang," Haricatra memutus. Saat itu bukan waktunya deklamasi puisi Chairil Anwar.

"Oh, oke," gadis itu manggut-manggut, menatap gerak-gerik Haricatra yang mencurigakan.

Hanya senyum canggung yang diberi Haricatra sebagai salam. Dia berlari gusar di koridor, menyalip yang lainnya, meliuk di antara kumpulan siswa. Untung tasnya ringan. Tak ada benda apa pun di dalamnya kecuali selembar buku tulis dan air minum. Semua butir soal ujian terpampang di komputer. Hanya perlu modal mata dan otak untuk menjawab.

Tadi pagi, sebelum ujian hari terakhir itu dimulai, dua orang berjas dan berdasi hitam masuk ke sekolah. Haricatra sempat beradu pandang dengan salah seorang dari mereka. Mata lelaki itu begitu tajam, mengamatinya hingga jarak yang lumayan jauh. Sepanjang ujian, hanya mata itu yang diingat Haricatra. Persis elang lapar yang mengintai mangsa.

Dan tak ada asumsi apa pun lagi dalam kepalanya kecuali Epsilon.

Korporasi itu telah datang ke sekolah dua kali, dan menginterogasi ayahnya di kampus berkali-kali. Sejak dia ketahuan membawa Nagapuspa dari Gunung Sanghyang, tak pernah dia diberi izin keluar rumah. Ayahnya sejak itu jadi bodyguard yang striknya minta ampun. Tak ada jalan kaki. Tak ada sepeda. Yang mesti dilakukan Haricatra hanya duduk di jok depan, ayahnya akan mengantarnya ke mana pun.

Dua orang berseragam hitam itu mungkin belum hengkang dari sekolah, atau mungkin sudah. Barangkali mereka menunggu ujian selesai, lalu bakal menginterogasinya. Apa susahnya perusa­haan itu melakukan apa saja yang mereka mau. Satu saja pesan ayahnya: tak boleh ada percakapan apa pun dengan orang-orang asing. Titik.

Di pertengahan tangga, Putu Artama melenggok santai. Haricatra turun dengan kecepatan penuh, menabrak punggung anak itu.

"Sinting!" umpatnya. "Awas kau, tupai!"

Kaki Haricatra tak melambat. Dia harus segera hengkang.

"Hei!" Putu Artama mengejar, beringas meremas lengan seragam Haricatra.

Bocah tupai itu panik.

"Mau cari gara-gara, hah?!"

Haricatra melirik ruang guru, dan sial. Dua orang Epsilon itu masih duduk-duduk di sana. Seorang guru pria menemani mereka terkekeh-kekeh.

"Apa maksudmu menabrakku?!"

Tak menggubris Haricatra. Salah satu suruhan Epsilon itu tiba-tiba memalingkan muka. Mata mereka beradu. Meskipun pria kekar berjas itu memakai kacamata hitam, sorot matanya menembus bagai netra elang dan menggetarkan bulu kuduk.

Haricatra (Trilogi Pertama, Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang