Jual

548 74 4
                                    

"Sudah, jangan buang waktu!" Wayan Badra berkaok. Suaranya mirip gagak. "Putu, kamu ikut Bapak ke pelabuhan!"

"Tidak mau!" tangkis Wahyuni. Apa pun perintah seorang bapak, semestinya dia turuti, tetapi bukan yang satu ini. Sungguh tak akan pernah sudi dilakukannya.

"Jangan keras kepala seperti ibumu yang dungu itu," Wayan Badra mendekat. "Pelabuhan itu gudang uang, Putu. Kamu hidup enak di sana!"

Segulung ludah muncrat dari bibir Wahyuni, melesat cepat menyasar tanah.

"Anak keparat!" Wayan Badra mengangkat tangannya yang sebesar gada timah. Tangan itu lalu melesat, menggampar pipi Wahyuni sedahsyat hantaman petir. Tak puas amarahnya sekali merajam. Pipi satunya harus juga jadi tumbal. Wahyuni merintih habis. Wajahnya terasa dibelah dua. Kemudian, Wayan Badra yang kalap itu menjambak rambut anak itu, menyeretnya paksa ke dekapannya.

Haricatra ternganga. Baru saja ditontonnya sebuah adegan yang memutar balik semua persepsinya tentang apa itu keluarga.

"Putu, dengar Bapak." Kembali suara Wayan Badra jadi lunak bagai kapas. Dirangkulnya Wahyuni, didekapnya erat agar tak kabur. Embusan napas pria itu laksana seekor naga yang mabuk arak api. "Bapak melakukan ini semata-mata demi kamu. Demi masa depan kamu."

"Masa depan saya bukan di sana!" Wahyuni menggeram, menggelepar-gelepar, berjuang lolos. "Lepaskan saya! Lepaskan!"

"Ikut Bapak, atau kekasih cilikmu yang pemberani itu kucincang."

Langsung geliat Wahyuni redam. Tiga pemuda suruhan ayahnya beringsut maju, menakut-nakuti Haricatra, persis seperti tiga penjudi memblokade ayam jantan yang mencoba kabur.

Haricatra mundur. Tiga pemuda itu terus menyudutnya. Separuh kakinya terperosok ke got yang menghitam. Dia nyaris terjengkang.

"Ada ribut-ribut apa ini?!"

Semua kepala yang ada di sana sontak berpaling ke satu titik.

Tak jauh dari semua kekacauan itu, berdiri pria lain. Kepalanya apik tertutup kerudung jaket. Asap rokok mengepul tipis, lenyap di udara. Misteri yang mengerubunginya tak kalah buramnya dengan malam. Kakinya terbalut sandal bertali karet, dan celana panjang jinsnya yang bolong tak lebih baik daripada punya penunggu emper pelabuhan. Otot-otot lengannya menggelembung, terbalut jaket hoodie yang tuanya nyaris sama dengan jins yang mungkin telah dia pakai berhari-hari.

"Ah, kamu rupanya!" Wayan Badra yang tadinya sempat bengong mulai paham siapa yang ada di depannya itu. "Kukira kamu intel."

Pria berjaket itu maju santai, mengamati satu per satu wajah tegang yang menerka-nerka wajahnya di balik kerudung.

"Kamu 'kan, yang ingin bibit udang buat kamu semai di pelabuhan?" tandas Wayan Badra.

Si pria berjaket melenguh saja. Sontak disibaknya kerudung hoodie yang sudah dari tadi membuat kepalanya gatal dan gerah.

Giliran Haricatra yang terperangah hebat, laksana tersambar halilintar. Pria itu meliriknya sejenak, puas pada ekspresi kejut bocah ingusan itu.

"Kenapa keponakanku bisa ada di tempat ini?" si pria bertanya. Telunjuknya menuding Haricatra yang kebingungan pada semua skenario aneh yang berlaga di hadapannya sejak tadi.

Wayan Badra terperangah. "Bocah itu keponakanmu?" tawanya meletup. "Bocah ompol itu keponakanmu, Komang Jaya?"

"Yang sangat kusayangi," tambah Komang Jaya. "Kuharap tingkahnya tidak menyebalkan seperti bapaknya yang profesor itu."

"Sayangnya iya," Wayan Badra membalas. "Dia mencoba menolong pacarnya."

"Cih," Komang Jaya mengerling tajam ke mata Haricatra, persis tatapan macan tutul menarget mangsa.

Haricatra (Trilogi Pertama, Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang