Baik Atau Buruk

385 52 3
                                    

Wahyuni tergesa-gesa menerobos kerumunan. Sejak barisan dibubarkan tadi, tak ditemukannya Haricatra. Anak-anak lain sibuk selfie di ruang kelas, mengabadikan gaya ingusan mereka untuk kali terakhir sebelum seragam putih-biru itu mereka lepas selamanya. Hanya Haricatra yang tak ikut bergabung. Anak itu lenyap begitu saja.

"Kadek!" panggilnya lantang. Haricatra dilihatnya berbelok cepat di gerbang sekolah. Gadis itu mempercepat langkah. Jalinan rambutnya berayun resah. Gerbang masih lumayan jauh. Banyak sekali suara simpang siur. Tak mungkin panggilannya terdengar.

Setelah tolah-toleh dan memindai setiap wajah yang lalu lalang di depan sekolah, Wahyuni menemukan sosok yang sedang dia cari. Dia kembali mengejar di sepanjang trotoar.

"Kadek, tunggu!"

Haricatra berhenti. Tubuhnya terbungkus jaket hoodie biru tua dengan kerudung yang meneduhi kepala. Anak itu berbalik.

"Kamu tidak ikut foto bersama!" Wahyuni mengerem. Napasnya putus-putus. Nada kalimat itu terkesan amat kecewa. "Foto terakhir kita sekelas, Kadek!"

Menunduk wajah Haricatra. "Tidak penting," balasnya.

Wahyuni separuh cemberut. Napasnya sedang tidak beres. Gadis itu baru saja berlari dari koridor kelas sampai gerbang sekolah hanya untuk mendengar kata tidak penting.

"Kamu lulus?" Wahyuni mengejar.

Napas Haricatra luruh. "Seperti yang pernah kamu ramal."

Langsung raut muka Wahyuni layu. "Kamu serius?" protesnya. "Kamu tidak salah lihat?"

Tak menyahut Haricatra. Dipandanginya arah lain, membuang semua galau yang memaksa air mata menitik.

"Lalu sekarang bagaimana?" Wahyuni terkesan menuntut. Malah dia yang ikut linglung.

Pertanyaan itu terlalu bertubi-tubi. Kepala Haricatra kusut dibuatnya. Anak profesor arkeologi terhebat di Bali utara tidak lulus matematika dan mesti ikut kejar paket B? Namanya pasti bakal masuk koran. Bapaknya akan mengutuknya menjadi sebuah patung lalu menaruhnya di museum. Ya. Menjadi sebuah patung tua mungkin jauh lebih bermartabat daripada jadi anak yang tidak lulus tes kecerdasan dasar SMP.

"Aku sangat menyesal, Dek," akhirnya Wahyuni sadar sendiri. Pertanyaannya tak mungkin dijawab. "Kamu sudah berusaha, kok. Kamu sudah berjuang!"

"Bapak akan membantaiku kali ini," getir Haricatra.

"Setelah kamu jadi incaran Epsilon?"

"Tak ada hubungannya dengan itu, Wahyuni."

"Tentu saja ada," Wahyuni menampik. "Membantai anak yang bisa menyelamatkan nyawa semua orang adalah hal yang tidak setimpal. Seorang profesor tidak akan mungkin melakukannya."

Setidaknya, ada sedikit kelegaan dari kalimat itu.

"Kamu mau pulang cepat?" Wahyuni melirik jalanan. Tak dilihatnya mobil yang biasa menjemput sahabatnya itu. "Aku tidak melihat ayahmu."

Haricatra mengangguk. "Aku menunggu bapak," terangnya. "Kami harus pindah malam ini."

"Pindah?"

"Ke Tejakula," Haricatra terus terang. "Di kota tidak aman. Aku dikejar-kejar Epsilon. Mereka menteror kami, Wahyuni."

Kepala Wahyuni ruwet dibuatnya. Semua hal terjadi begitu mendadak dan dia tidak tahu mana yang harus lebih dulu dikatakan. Hari itu dia dijejal dengan banyak perpisahan yang bertubi-tubi. Batinnya agak berguncang.

"Aku tidak bisa lagi bertemu kamu," tatas Haricatra. "Aku tidak ingin melibatkanmu dalam semua masalahku. Aku tidak ingin Epsilon memburumu juga karena tahu kamu sahabatku."

Haricatra (Trilogi Pertama, Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang