Tragedi Burung Pipit

604 74 0
                                    

Tiga sosok itu samasekali tak punya langkah kaki. Mereka melayang di udara. Kain hitam yang pekat menjuntai menutupi tubuh mereka, berkibas-kibas ringan kapan pun mereka bergerak. Seperti biasa, ketiganya berkerudung hitam dan bertopeng perunggu. Tak mungkin mengenali wajah di baliknya. Sepasang mata mungkin saja mengintip di balik celah gelap topeng dengan mulut menganga itu, tetapi kegelapan menyelubunginya dengan begitu apik.

Salah satu sosok bertopeng itu mendesis ketika menemukan Haricatra terengah-engah kelelahan di balik tembok. Anak itu menjerit, memaksa kakinya berderap lagi. Koridor masih panjang. Ujungnya tinggal lima blok kelas lagi. Dua orang bertopeng lain bergabung dan mereka bersama-sama me­ngejar. Tubuh mereka melayang dengan kecepatan tinggi di belakang, terus mendekat tanpa suara.

"Tolong!"

Jeritannya menggema di koridor. Tak ada seorang pun. Gedung itu benar-benar mati. Kadang itulah yang terjadi. Haricatra mendapati dirinya di waktu dan tempat yang tak semestinya. Kadang di sebuah hutan yang lebat, atau di tepi danau yang airnya kelabu.

Tali sepatunya terinjak. Haricatra terjungkal. Lututnya terseret di lantai. Bocah itu mengaduh. Sesak mencekiknya setiap kali dia menarik napas. Kapan pun ketiga sosok hitam itu datang, udara di sekelilingnya menjadi begitu dingin, dan cahaya matahari menjadi redup.

Sambil mengacungkan tombak, sosok hitam bertopeng itu maju dan mendekatkan wajahnya yang tanpa ekspresi, beradu dengan wajah Haricatra yang porak poranda.

"Waktumu telah tiba," suara itu mendesis seram lagi, seolah membisikkan ajal.

Haricatra memekik.

Tombak terangkat. Ujung perunggunya mengerling kejam. Tanpa aba-aba, sosok itu mendorong tangannya dengan kekuatan penuh, membuat ujung tombak itu bersarang di dada Haricatra.

"Tidak!"

Matanya mendadak terang. Dingin meleleh di kepalanya, lalu merambat turun. Haricatra berkedip-kedip kelimpungan. Rambutnya basah kuyup. Air itu dinginnya bukan kepalang. Anak itu mengap-mengap kekurangan udara. Hidungnya kebanjiran.

"Bangun, tupai tukang tidur!" seseorang mendengking tepat di depan wajahnya yang setengah sadar.

Seragam Haricatra basah kuyup. Air bahkan merembes ke bagian dalam celananya.

"Untung itu cuma air es!" Nugraha berfose tepat di depan Haricatra. Di kanannya ada Rangga yang tertawa terpingkal-pingkal, dan di kirinya Radit tersenyum simpul. "Kalau kamu tidak bangun juga, aku bisa pakai kencing sapi."

Radit meletup. Senyumnya menjelma menjadi tawa yang membuat matanya cekung.

Haricatra mengatur napas. Dadanya sakit sekali. Tusukan tombak dalam mimpi itu benar-benar seperti nyata.

"Kamu mimpi apa barusan?" Rangga mendekatkan wajahnya. "Dikejar pak guru matematika? Sampai mengigau begitu!"

Jam di atas papan tulis menunjuk pukul 11:30. Saat itu seharusnya guru matematika sedang mengajar dan mimpi buruk yang sebenarnya dimulai. Namun tak ada tanda bahwa gurunya akan datang. Sudah setengah jam berlalu sejak bel elektrik berbunyi.

Anak-anak lain tertawa berbarengan. Ekspresi Haricatra seperti luwak yang bangun kesiangan.

"Dia mimpi dapat nilai matematika lima puluh!" seorang anak meledak di belakang. Derai tawa menyertainya. Hampir semuanya tawa anak laki-laki. Anak-anak perempuan yang cenderung pemalu menyembunyikan tawa geli mereka di balik telapak tangan yang menutupi bibir. Beberapa memakai buku untuk menutup mulut yang tak bisa dibendung.

"Tupai yang otaknya sebesar kelereng ini dapat nilai matematika lima puluh?" lengkingan Nugraha membias jelas di seluruh lubang telinga yang ada di kelas. "Catat! Gundul kepalaku jika sampai nilai si tupai penakut ini tiga puluh saja!"

Haricatra (Trilogi Pertama, Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang