Madu dan Jadam

522 66 3
                                    

Mikrofon mendengung. Kepala sekolah mengetuknya beberapa kali. Sudah ada larangan dari teknisi agar mikrofon sound system seharga tiga puluh juta itu tak diketuk-ketuk sembarangan. Mau bagaimana lagi. Anak-anak masih ribut.

Hari itu jadi momen paling penting di akhir masa belajar. Hasil tes kecerdasan dasar bakal diumumkan, peringkat portofolio selama tiga tahun bakal ditentukan. Keduanya menentukan di konsentrasi mana mereka akan berada di SMA. Rata-rata masih mengidolakan MIPA, padahal hanya gengsi saja. Seharusnya konsentrasi SMA dipilih dengan hati, selaras minat dan bakat.

Dan setelah kepala sekolah mengumumkan persentase siswa yang berhak masuk konsentrasi SMA di masing-masing bidang, barisan anak-anak itu melompat-lompat girang. Beberapa siswa yang ekstrem melempar-lempar topi, meniru gaya kakak, sepupu atau paman mereka yang lulus kuliah dan diwisuda. Dasar anak SMP. Manis dan polos, tapi kadang menyebalkan.

"Satu pengumuman lagi," kepala sekolah kembali mengetuk-ngetuk mikrofon dan mengucapkan beberapa kalimat penenang. "Tolong dengarkan."

Beberapa pengumuman dibacakan. Biasalah. Anak-anak antusias lagi. Acara perpisahan akan diselenggarakan, dan sertifikat kelulusan akan dibagikan dalam beberapa hari ke depan. Nuansa yang begitu haru. Beberapa siswa perempuan berpelukan haru.

Lalu barisan dibubarkan. Terserah anak-anak itu sekarang. Tak terikat lagi pada bel sekolah. Masa-masa bebas menanti.

"Haricatra!" Bu Suranadi namanya, gelisah di teras ruang guru, takut kehilangan siswa yang namanya dipanggil.

Haricatra timbul-tenggelam di kerumunan anak-anak lain yang berjingkrak-jingkrak dan tertawa-tawa girang setelah barisan dibubarkan.

"Haricatra! Kemari sebentar!"

Haricatra menoleh. Dia mendekat tergesa-gesa, menyeruak di kerumunan.

"Ibu memangil saya?"

"Kepala sekolah mau bicara sebentar," Bu Suranadi mengajak masuk. Seharusnya dia datang lebih pagi dan memanggil anak itu sebelum pengumuman dibacakan. Tetapi dia hanya merasa tidak nyaman mendahului kepala sekolah. Itu tindakan yang kurang etis. Tidak ada perintah langsung untuknya.

Haricatra mengangguk. Dipanggil wali kelas dan kepala sekolah di hari terakhir sekolah adalah hal yang istimewa. Tak pernah dia dipanggil sebelumnya. Dia bukan ketua kelas yang sudah biasa keluar-masuk ruang guru, bukan pula ketua OSIS yang bisa berdiskusi dengan kepala sekolah seperti ayah kandung sendiri. Dia cuma siswa biasa. Tak banyak bicara. Pintar pun tidak. Padahal, tampangnya jauh lebih mumpuni daripada Nugraha atau Radit yang pipinya jerawatan. Sayangnya, senyumnya jadi barang langka, selangka bunga Raflesia yang hanya mekar beberapa tahun sekali.

Pintu dibuka. Hawa pendingin ruangan langsung menyergap. Selama tiga tahun, baru kali itu Haricatra masuk ke ruang kepala sekolah, menyaksikan semua piagam dan piala yang berdiri berkilau memenuhi sisi ruangan. Ada meja kayu besar di sisi tengah, bendera merah-putih yang bersih, lalu sederet foto kepala sekolah pendahulu tepat di bawah poster Pancasila dan foto kepala negara. Sebuah komputer towerless menyala tenang di meja, menunggu perintah akses dari kepala sekolah. Dari komputer itu dia bisa memantau semua aktivitas sekolah, termasuk jam berapa penjaga sekolah membuka gerbang. Kesan yang sangat formal, rapi dan akademis.

"Silakan duduk," kepala sekolah menyilakan dengan sopan. Seragam cokelatnya tampak necis, dan tanda pengenalnya berayun-ayun di saku kiri. Kacamatanya tebal nan jernih, wajahnya berbobot wibawa.

Dengan ragu Haricatra menurut. Sofa krem itu dingin sekali ketika diduduki. Bu Suranadi ada di sampingnya, menunggu instruksi. Dari tegangnya wajah Bu Suranadi, pasti ada hal mendesak yang harus disampaikan.

Haricatra (Trilogi Pertama, Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang