Harta Karun

544 62 6
                                    

"Dia kelelahan," begitu komentar Sri Purnami tatkala duduk kembali di kursi putar di belakang meja. "Begitu juga kepalaku. Petualangan kami cukup seru."

Haricatra terbaring lemah setelah meneguk sebotol besar air mineral yang diberikan Sri Purnami. Segenggam biskuit cokelat di atas meja dilumatnya bulat-bulat. Kemudian, anak itu terbuai mimpi lagi. Sofa bulu mediterania itu terlalu nyaman.

"Aku pun sering ketiduran di sofa yunani itu kalau kemalaman nonton bola," Sri Purnami geleng-geleng. "Kasihan. Anak itu kelaparan. Kamu pasti lupa kasi dia makan siang."

"Bagaimana aku bisa meng­­­­­­­­­­­­­i­­­ngat makan siang sambil dikejar suruhan Epsilon?" geram Dhira.

"Kamu memang ayah yang buruk," Sri Purnami menekan kata 'buruk' dalam nada yang benar-benar kencang,—sebuah tanda kekecewaan yang jelas. "Kamu mencintai istrimu. Seharusnya kamu juga mencintai anakmu. Apalagi kalau dia anak yang istimewa."

"Kamu to the point saja," Dhira tak mau kalah. Dia sudah merasa dirudung habis-habisan sejak awal. "Aku tidak paham dengan semua istilah cenayang."

"Jaga bicaramu!" kali itu Sri Purnami kehilangan semua raut ramah. "Usiaku hampir tujuh puluh lima, dan aku bukan guru besar arkeologi di usia empat puluh lima seperti kamu."

Dhira mendadak semrawut. Dia salah bicara lagi,—pada orang tua.

"Kalau bukan aku yang memberimu segala informasi tentang Nagapuspa, kamu tahu apa?!"

"Maafkan aku, Sri," Dhira menegakkan badannya, meraih tangan Sri Purnami yang gemetar diurab murka, lalu meremasnya sungguh-sungguh. "Aku benar-benar kacau."

"Anakmu indigo, Wayan Dhira. Dia indigo. Ngerti?" demikian jelas kalimat itu menempel di genderang telinga Dhira. "Kemampuannya jauh di atasku. Anak itu bukan bocah sembarangan."

Dhira tak yakin bisa paham. Dia enggan berkomentar.

"Dia menakjubkan," giliran Sri Purnami yang balik mendekap tangan Dhira, seolah mendekap tangan anaknya sendiri. "Sekaligus menggiurkan. Dia satu-satunya anak yang memegang kunci nasib semua manusia yang sakit di planet ini. Kabar baiknya, dia anakmu."

Jemari tangan Dhira langsung mendekap dagunya dengan perasaan paling aneh yang pernah dicecapnya.

"Kasihan anakmu, Dhira," Sri Purnami memutar kepala, menatap resah Haricatra yang terlelap. "Dia belum siap. Anak itu masih terlalu kecil, terlalu polos. Kasihan dia kalau sampai jadi budak korporasi elit."

Sejenak benak Dhira mengelana. Otaknya telah habis berputar. Semua kemungkinan sudah terlalu mustahil. Akhirnya dia berkata, "Apa yang mesti kulakukan?"

"Belum saatnya dunia tahu Nagapuspa." Sri Purnami berbisik. Getir yang pahit bergulir dalam tiap kata yang diucapkannya. "Jika sampai bunga itu diketahui banyak orang, akan ada perang besar. Bukan hanya keluargamu yang akan jadi korban, tapi seluruh penduduk pulau ini,—lengkap dengan semua ekosistemnya."

Kecut hati Dhira sudah sampai di titik lebur. Kacau balau semua denyut di badannya.

"Kamu harus sembunyikan dia, Dhira. Bagaimana pun caranya," Sri Purnami menepuk keras punggung tangan Dhira, lalu meremasnya dengan kuat. "Mata mereka ada di mana-mana. Hanya ada satu mata, tapi tak ada yang bisa lolos dari tatapannya."

Kalimat itu mencekal jantung Dhira. Mata mereka beradu tanpa kedipan, penuh kemelut rasa cekam yang pekat. Di antara semua kisah seram yang pernah didengarnya, ini adalah narasi yang paling membuat segala imannya ciut.

"Siapa sebenarnya yang sedang kami hadapi, Sri?"

Pertanyaan Dhira terpotong. Sesuatu menyumbat arah pembicaraan mereka. Sri Purnami bangkit. Lampu merah bundar yang terpasang di dinding itu menyala terang. Gelagatnya langsung berubah.

Haricatra (Trilogi Pertama, Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang