Dua Pilihan

902 87 13
                                    

Setelah tadi Rani terjebak macet di depan pasar Banyuasri hingga sesak napas kepanasan, dia kapok keluar rumah lagi. Di angkasa, awan-awan minggat entah ke mana. Yang bisa mempertahankan arwahnya agar tak melesat pergi hanyalah AC, sekotak es krim pisang, dan Sponge Bob. Membuka pintu rumah saat terik semacam itu tak ada bedanya dengan keluar dari kapsul luar angkasa dan berjalan-jalan di Mars tanpa tabung oksigen.

Nyaris tak ada hal-hal mentereng di Singaraja. Kotanya kecil, tanpa bioskop dan orang-orangnya masih mengantri panjang untuk naik komidi putar portabel di pasar malam. Syukur hawa panas sepanjang tahun telah memberinya sebuah predikat. Rumah-rumah gaya Belanda di kota sepuh itu tak akan terkenal tanpa remajanya yang blak-blakan dan senyum gadis-gadis mudanya yang tampil apa adanya. Mereka samasekali tidak legam dipanggang matahari. Malah, anak-anak Singaraja konon kulitnya paling cerah dibandingkan anak-anak dari Bali selatan. Barangkali karena mereka masih mandi dengan air rembesan Danau Tamblingan tanpa kaporit, atau mungkin karena gen mereka memang spesial? Tidak juga. Satu-satunya fakta, mereka lebih sedikit terpapar ayam goreng dan burger waralaba daripada anak-anak selatan, dan itu berarti ada lebih sedikit micin dalam kepala mereka. Selama sepuluh tahun belakangan, anak-anak paling pintar di pulau Bali berasal dari jagat sana.

Sepanjang hari itu Rani sudah bolak-balik belanja lima kali, dan benda yang dibelinya terakhir adalah sebungkus deterjen super power. Tiap dia keluar rumah, jiwanya hangus satu. Kalau dia punya sembilan, berarti masih empat jiwa lagi yang tersisa. Satu jiwa lagi hilang kalau anaknya datang dan menyodorkan kertas ulangan dengan nilai merah. Malam nanti, jika suami dan anaknya berkata 'tempe goreng ini seperti makanan alien', maka jiwanya lenyap dua lagi. Kalau sampai sebelum tidur nanti dia ingat kalau celana anaknya belum dicuci, habis sudah nyawanya hari itu.

Di dalam ruangan rumahnya ada AC, ponsel dan TV, tiga benda yang sanggup membuat pantat tuan rumah berakar di sofa hingga berjam-jam. Couch potato, kata suaminya setiap kali lelaki itu melihat Rani ketiduran di sofa dengan TV yang menyala pukul 1 malam. Kemudian, suaminya berkata bahwa masakannya terasa lebih asin sejak perempuan itu kecanduan film horor tengah malam. Rani akhirnya malu sendiri.

Sudah seminggu dia meninggalkan kebiasaan burung hantu itu. Untung saja dia tidak sampai jadi gembrot karena kebanyakan duduk dan sedikit tidur. Jika itu sampai terjadi, mungkin suaminya akan mengeluarkan istilah bahasa Jerman untuk menyindir pinggangnya yang kembung bagaikan ban renang.

Berkeluarga dengan orang intelek kadang-kadang memusingkan. Ketika komplain atau stres, suaminya akan berkomat-kamit memuntahkan semua istilah ilmiah. Rani, otakku sedang keracunan sodium bikarbonat. Aku tidak bisa berpikir. Ada terlalu banyak CO2 di kepalaku. Entahlah apa maksudnya. Rani hanya menikmati hal itu seperti menonton film alien.

Yang jelas, dia tidak mau mengkhayal tentang hal itu saat tangannya sibuk membolak-balik baju. Noda di baju itu kini lebih membuat pening.

"Kadek!" Rani melengking dari balik dinding kamar mandi. "Mana celanamu?!"

Suara debam kaki mendekat. Kepala anaknya menyembul dari balik dinding. Tanpa berkata apa pun, bocah itu melempar selembar celana biru. Celana seragam sekotor itu seharusnya hanya ada jika seorang anak SMP tercemplung dalam adonan cokelat.

"Saya bisa mencucinya sendiri," lenguh Haricatra. Kepalanya tersangkut di sisi dinding, terpukau menatap busa lembut mengepul dari ember cucian.

Rani tak menoleh. Celana itu dibenamkannya ke dalam busa. "Jika Ibu serahkan kepadamu, celana ini baru akan dicuci di menit terakhir sebelum kamu berangkat sekolah."

Kening Haricatra mengerut. Masalah tanggung jawab lagi. Sudah berkali-kali terjadi. Celana seragamnya sering terendam dalam larutan deterjen hingga dia sadar tak punya celana ganti. Sayangnya, kesadarannya selalu datang pukul enam pagi, setengah jam sebelum dia berangkat sekolah. Celana itu akan diperasnya hingga tak berbentuk, lalu langsung diseterika dengan suara desis uap yang galau dan aroma anyir tak keruan.

Haricatra (Trilogi Pertama, Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang