Aku Melihat Maut

569 72 9
                                    

Baru saja perawat datang, mengganti infus yang menetes sampai kempes sejak tengah malam. Tak banyak bicara, perawat itu melakukannya dengan cepat dalam hitungan detik. Saat dia datang dan pergi hanya ada senyum yang ramah dan higienis. Masih ada lusinan pasien dengan berbagai penyakit yang harus ditangani, jadi tak ada basa-basi. Bangsal itu saja menampung sampai delapan pasien dengan keluhan berbeda-beda.

Antara ranjangnya dan pasien di sebelah hanya dibatasi sehelai tirai tebal berwarna oranye tua yang nyaman dilihat. Rumah sakit masa kini bukan lagi tempat menyeramkan dengan kualitas bangsal yang anyir dan cat tembok yang mengelupas. Semua serba bersih dan terawat. Bapak tua di sebelahnya sangat betah dijadikan teman mengobrol. Kaki bapak itu patah karena jatuh dari pohon kelapa. Kala jam-jam siang, mereka bertukar tawa dan buah-buahan. Di ujung bangsal ada anak 14 tahun seumur Haricatra. Keningnya bocor lantaran jatuh dari motor. Anak itu datang setelah Wahyuni bermalam sehari. Setiap kali perawat mengganti perbannya, anak itu meringis-ringis kesakitan. Wahyuni sempat mengintip dari jauh. Luka di kening anak itu menganga merah tua.

Baru gadis itu bisa sedikit nyaman. Malam saat dia dibawa ke ruang gawat darurat, kepalanya begitu pening. Tak bisa didengarnya suara apa pun. Matanya jadi hitam putih dan semua inderanya mendadak tumpul.

Dan akhirnya berakhirlah dia di bangsal itu, diborgol infus dan tagihan. Tak beda dengan tahanan. Ransumnya hanya bubur padat. Selain itu, tak ada yang bisa masuk ke perutnya. Setiap kali dia bertanya tentang sakitnya, tak pernah didapatnya jawaban. Dokter yang memeriksanya setiap jam sepuluh pagi hanya manggut-manggut tenang setelah mendengar sampel irama jantungnya lewat stetostop.

Pintu terbuka. Engsel otomatisnya berkeriut lembut. Wahyuni menoleh. Disangkanya ibunya yang masuk, namun dia terbelalak.

"Wahyuni!"

Rasanya antara kecut dan manis. Wajah bocah remaja yang selalu datang dalam mimpinya tiba-tiba menyembul di daun pintu, dengan rupa yang benar-benar sama.

"Kadek!" pekiknya tertahan. Jengkal napasnya benar-benar pendek.

Haricatra menerjang masuk. Suara sandal jepitnya berkelepak-kelepak di lantai. Tak sulit menemukan rumah sakit tempat Wahyuni berada. Semua orang di Singaraja tahu di mana lokasinya. Atap gedung rumah sakit itu bahkan masih bisa dilihat dari taman kota yang jaraknya satu kilometer. Tak menyangka saja, kini dia melihat sahabat karibnya tergolek lesu, dengan pergelangan tangan dibalut plester infus.

"Kenapa kamu tidak bilang?" Haricatra duduk di sisi ranjang. Tatapannya cemas bukan main. Cekungan gelap di bawah mata Wahyuni benar-benar membuat hatinya meringis. Semua titik letih gadis itu berkumpul di sana.

Wahyuni menghela napas. Dia mengulum bibir.

"Kamu marah padaku?"

Mata Wahyuni berkedip. "Tidak, Dek," tukasnya. "Aku tidak marah padamu. Sungguh."

"Aku minta maaf," Haricatra menunduk lesu. "Aku membuatmu takut."

Wahyuni mengangkat jarinya, menempelnya di bibir. Matanya sekilas memastikan bahwa tirai bangsal masih tertutup. "Aku hanya cemas, Dek," terangnya lesu. "Sudah kukatakan, kamu sudah kuanggap sebagai abangku. Bagaimana bisa aku melihat abangku seperti itu?"

Kata-katanya beralasan. Tidak ada laki-laki yang melindunginya di rumah. Jika saja dia punya abang, setidaknya ada lelaki yang dicapnya baik. Laki-laki yang paling dekat dengannya adalah sesosok iblis yang ingin menjualnya. Wahyuni tidak mau kehilangan kewarasan. Dia hanya ingin cerita pada Haricatra tentang semuanya, semuanya. Jika Haricatra menjelma menjadi monster yang tidak kalah ganasnya, ke mana lagi dia bisa cerita? Siapa yang bakal dipercayainya?

"Kamu sakit apa, Wahyuni?" Haricatra bertanya. "Kenapa tidak ada berita ke sekolah?"

Tetesan infus yang pelan memukau pengelihatannya. Ada tumpukan roti dan buah di meja samping, lalu bubur yang habis separuh.

Haricatra (Trilogi Pertama, Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang