SALCON

671 71 2
                                    

Februari tengah.

Satu batang cokelat bergemerutuk lembut di mulutnya, lalu lumer perlahan, meresap di sela-sela gigi dan lidah. Manis menyeruak. Dari tujuh ruas cokelat, hanya tinggal dua ruas di genggamannya. Ibunya memberi cokelat itu saat Valentin kemarin, dan hanya itu yang mau dimakan Haricatra di rumah. Dia tak mau makan apa pun kecuali jika ibunya benar-benar memelas. Tragedi naskah terbakar itu sudah berlalu hampir empat minggu, tapi hatinya tak kunjung membaik. Semua yang dimakannya jadi pahit.

"Bli Wayan!" ada pekik panggilan dari ruang tengah.

Haricatra terhenyak. Ditolehnya jam beker di tepi meja. Pukul 7 malam.

"Beritanya sudah mulai!"

Terdengar Dhira menyahut dari dapur. Pria itu sedang menyetel sesuatu yang berhubungan dengan kulkas.

Tangan Haricatra menarik laci. Berbagai benda aneh berkumpul amburadul di dalamnya. Satu gantungan kunci aneh ada di sudut, lalu segumpal benang putih entah untuk tujuan apa. Beberapa kertas ulangan yang menguning dengan nilai kecil mengintip. Sejumput boneka jerami yang dililit benang hitam menyeringai riang ketika tangan Haricatra menarik laci itu lebih lebar. Yang jelas, boneka jerami mencurigakan itu bukan bagian dari pelajaran prakarya. Setahun lalu, Haricatra membuatnya dari rumput ilalang di sawah belakang rumah. Wajah boneka itu diberinya dua titik mata polos dan segaris senyum spidol hitam, lalu ditaruhnya di tepi meja belajar. Setiap dia menulis atau melakukan apa pun di meja, wajah boneka itu selalu membuatnya ingin tertawa. Ketika ayahnya tahu perbuatan konyol itu, perintah yang keluar adalah pembuangan. Namun Haricatra malah menaruhnya di dalam laci. Kapan pun dia galau, dia bermain ci luk baa bersama boneka itu.

Selembar uang dua puluh ribu menyembul di sela tumpukan kertas. Langsung Haricatra menariknya, menggulungnya dengan cepat, menyembunyikannya apik di saku celana cargo pendeknya yang krem.

"Ada Epsilon di TV!" Rani kembali memekik.

Kursi terdorong berderik. Haricatra bangkit. Kupingnya menajam. Berita Epsilon yang berseteru dengan ayahnya menjadi fokus publik beberapa hari belakangan. Ketika Valentin, beberapa wartawan datang ke rumah, menanyai ayahnya pertanyaan level tinggi yang memerlukan bantuan peta dan setumpuk buku yang judulnya membuat lidah terlilit. Di sore-sore biasa, ayahnya senang olah raga di depan rumah, bercelana boxer biru favorit, lalu membicarakan sepak bola bersama tetangga sampai matahari terbenam. Benar-benar tidak tampak bahwa ayahnya adalah sosok paling dicari di kota, bahkan di seluruh provinsi. Ketika wartawan-wartawan itu datang, ayahnya sedang main catur di pos kamling, terkial-kial riang bersama Ketut Sania dan Turah Denis. Sebelum dibidik kamera, dia harus mengganti pakaian dulu, menjelma menjadi ilmuwan bertampang serius.

Dhira keluar dari dapur, terjun di sofa. Volume dinaikkan. Haricatra mengintip di ambang pintu kamarnya. Dia tidak boleh ketahuan. Semasih ayah-ibunya terbius TV, dia harus cepat-cepat minggat keluar rumah.

Tapi berita Epsilon terlalu sayang untuk dilewatkan. Perusahaan itu akhir-akhir ini mulai muncul di TV dengan acara Spectrum-nya yang bertema sains. Baru-baru ini ada sosialisasi ke sekolah terkait program penanggulangan kanker sejak dini. Mendengar nama penyakitnya saja sebenarnya sudah ngeri, tetapi Epsilon dengan entengnya menawarkan obat mujarab keluarannya. Namanya dielu-elukan di rumah sakit dan berbagai klinik. Derajatnya memang sedang mentereng.

Soni Raditya Prakasa muncul di layar TV. Di belakangnya ada layar wallpaper resmi berlambang Epsilon berwarna biru langit. Wajahnya berkelip-kelip difoto puluhan wartawan. Beberapa orang berdasi dan berjas tampak mendampinginya dengan tampang robotik tanpa emosi.

"Temuan dinas kesehatan provinsi terkait varian kanker ini dikonfirmasi positif oleh tim ahli penyakit dari pusat," papar Soni. Dia terdengar parau. Lingkaran kelabu mengitari cekungan matanya. "Sebelumnya kami telah mencurigai adanya mutasi anomali leukemia yang disebabkan oleh paparan radiasi ponsel dan kontaminasi senyawa plastik. Dinas kesehatan provinsi membenarkan hal tersebut. Sejauh ini ditemukan 150 kasus di seluruh pulau."

Dhira memicingkan alis. Rani di sampingnya menatap TV tanpa satu kedipan pun. Tidak boleh ada satu kalimat pun yang lewat. Kanker sudah mulai menjadi penyakit yang merakyat mulai lima tahun belakangan. Pada awalnya Rani menduga itu hanya opini media saja, tetapi tiga tahun lalu setelah suaminya berkata bahwa mereka harus mulai vegetarian dan mengurangi asupan gorengan, Rani jadi waswas. Suaminya bukan orang yang gampang termakan isu. Apa-apa yang ada selalu diteliti dulu. Kalau sudah suaminya berkata "daging merah itu tidak bagus untuk jantung" maka Rani percaya bahwa itu sudah berdasarkan riset.

"Varian kanker ini dinamai Severe Acute Leukemia and Erythrocytal Contrafunctionability, atau SALCON," Soni membacakan pernyataan resmi Epsilon dalam lembaran kertas yang dipe­gangnya. "Dalam bahasa lumrah, kanker ini disebut kanker darah ganda akut."

Segumpal ludah meluncur di batang leher suami-sitri itu.

Kemudian, dubber berita menjelaskan tentang SALCON lewat animasi. Pertama-tama, sel darah merah mengalami mutasi karena polusi udara. Sel ini bermutasi karena kadar oksigen yang diterima paru-paru menipis. Karena aktivitas sel anomalik ini mengancam jaringan, sistem kekebalan tubuh bereaksi. Jadi, sel darah putih membelah diri tidak terkendali untuk mengendalikan sel darah merah yang termutasi.

"Dalam kasus leukemia biasa, sel darah putih yang menjadi biang kerok, tetapi dalam SALCON, mutan sel darah merah adalah tersangkanya," demikian Soni menutup bilah berita dengan tampang yang begitu kusut.

Rani mendesau. Dia harus lebih berhati-hati bahkan untuk bernapas. Sejak seminggu lalu dia sudah memakai masker jika memasak dan naik motor. Mungkin mulai besok dia akan mengenakan dua masker.

"Epsilon sedang berjuang mengkonstruksi senyawa tertraprofen varian C berbasis tanaman alhagi untuk meredam kanker ini," seseorang berseragam dinas berujar di layar setelah seorang wartawan menanyainya. "Pemerintah dan Epsilon sedang berusaha sekuat tenaga. Masyarakat mohon tetap tenang. Pemerintah sedang mengerahkan seluruh sumber daya yang ada."

Dhira mencermati setiap suku kata dengan kuping terbuka lebar. "Apa yang dilakukan Sudiartawan di sana?" komentarnya jengat.

"Ketua DPRD provinsi pastinya harus tanggap situasi, Bli," Rani menebak alasan.

"Tidak seharusnya dia di sana," tukas Dhira. "Yang seharusnya bicara adalah dinas kesehatan. Eksekutif, Rani. Bukan legislatif."

Rani bungkam. Istilah yang dipakai suaminya terlampau tinggi. Kosa kata perepuan itu hanya sebatas bumbu dapur dan teknik memasak tanpa minyak goreng.

"Pemerintah telah menetapkan keadaan darurat. DPRD telah mempercayakan penanganan kepada Epsilon," pria gempal di layar melanjutkan. "Melalui rapat darurat kemarin, DPRD telah mengizinkan alih fungsi sektor inti lereng Gunung Sanghyang sebagai lahan penelitian dan pengembangan tanaman langka Alhagi."

Jantung Dhira kram hebat laksana disengat halilintar. "Sinting!" umpatnya refleks.

Rani mencoba menenteramkan batin.

Dhira bangkit beringas, mondar-mandir gusar. Di kepalanya hanya ada ponsel. Dia harus menghubungi kementerian saat itu juga. Epsilon kini menggandeng legislatif. Desir polusi politik sedang menjamah lerengnya.

Haricatra menyembul dari ambang pintu. Tadi siang di sekolah dia kebagian poster yang membahas SALCON yang sama. Lumayan mengerikan juga jika nama itu terus bergaung di dalam kepala. Dia muak mengingat itu. Ada hal lain yang lebih menyenangkan yang bisa dilakukannya. Siapa saja bisa kena kanker jenis itu, lalu mati. Tetapi agaknya pemikiran seperti itu masih terlalu jauh. Mati setelah sempat punya kawan dekat mungkin tidak terlalu buruk.

Rani waswas menatap tingkah suaminya. Dia ikut bangkit, resah. Dengan dikeluarkanya izin alih fungsi, Epsilon telah mengepung mereka. Semua tanah di sekitar milik mereka telah menjadi hak raksasa penjual obat itu.

Haricatra (Trilogi Pertama, Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang