Abirama

565 72 0
                                    

Tengkuk Haricatra berdesir hebat. Entah sampai kapan dia bakal sanggup melarikan diri. Tak ada tanda-tanda ujung hutan. Deretan pinus besar nan tua itu seolah tak berujung ke segala sisi.

Raungan itu makin dekat. Makin galak.

Tak tampak matahari. Kabut berpendar makin tebal, menyatu dengan belukar, menciptakan warna biru aneh yang membuat arah jadi buyar. Dingin yang tadinya menggelitik kini menusuk. Yang bisa Haricatra lihat hanya dua-tiga deret pohon di depannya. Selebihnya hanya warna kabut tak bertepi.

Makhluk besar itu kini tepat di belakangnya. Embusan kematian yang dingin meraba punggung. Sudah terdengar jejak langkah berat di belakang, berdebam menghentak tanah, dicambuk rasa lapar yang liar.

Lalu tubuhnya terhenyak ke depan. Sebaris kuku yang tajamnya melebihi pisau mengoyak lengan kanannya. Anak itu menjerit, terhempas habis ke tanah yang lembab. Lengannya robek. Darah merembes anyir, membasahi separuh punggung dan dada.

Mati aku sekarang, ringisnya dalam kepala.

Dibalut kabut tipis, dibayangi rona gelap yang samar, berdiri gagah seekor macan. Monster itu punya sepasang mata bening tajam nan dingin. Kumisnya tercuat kaku. Derik napasnya sanggup menggempur jantung. Keempat kakinya kekar, melaju mantap perlahan. Yang paling menyeramkan dari semua atribut itu adalah mulutnya yang menyeringai penuh taring.

Tak pernah Haricatra sangka, tampang macan loreng putih itu mungkin jadi wajah terakhir yang bakal dia lihat.

Macan itu bersiap. Lidahnya terjulur, menjilati bibirnya yang berbulu. Daging segar di hadapannya adalah daging gurih milik manusia,—makhluk tertinggi dalam rantai makanan.

Dan menyeranglah akhirnya dia. Tubuh raja hutan itu melompat di udara, menerjang Haricatra dengan jurus jagal pamungkas. Mata Haricatra terpejam, teriakan penghabisannya luluh.

Sesuatu tiba-tiba berkelebat cepat. Macan itu terpelanting. Suara henyakannya menyakiti kuping. Berguling-guling di tanah, karnivora itu meringis menahan sakit. Dengan susah payah dia bangkit.

Haricatra membuka mata.

Si raja hutan tiba-tiba dilumuri kabut hitam yang pekat, berputar-putar bagai puting beliung kecil. Tak lama kemudian, wujud raja hutan putih loreng itu berganti. Rupa badannya manusia, terbalut kain hitam terjuntai. Wajahnya bertopeng perunggu tua yang berkilat redup, tertutup kerudung lebar yang gelapnya sempurna.

"Jangan ganggu dia, Surapraba!"

Haricatra berbalik gemetaran. Suara itu terlontar dari belakang. Muncul sosok jangkung lain yang seramnya serupa.

"Dia manusia, Kakang Abirama!" yang dipanggil Surapraba jengat dengan suara bagai sambaran halilintar. "Tidak ada manusia yang boleh masuk ke hutan Gunung Sanghyang dan pulang hidup-hidup!"

"Tahan amarahmu!" sosok bernama Abirama tangkas mengangkat lengannya yang keriput bagaikan mumi, menahan gusar rekannya yang tak bisa menahan emosi. "Anak manusia ini telah datang ke tempat ini, dan pastinya dia punya tujuan."

Haricatra menyeret tubuhnya menjauh. Surapraba itu telah mencakar lengannya dan menciptakan luka gores besar. Darah menetes cepat, laksana getah karet dari pohon yang habis disadap.

"Lengan bocah ini seharusnya jadi santapan saya!" gaung Surapraba. "Sudah enam ratus tahun saya tidak mengendus darah manusia, apalagi yang masih bocah. Tulang-belulangnya pastinya masih lunak."

"Jaga bicaramu, Surapraba!" Abirama mendengking dengan suara serak yang dalam. "Sudah selama itu, seharusnya kau jauh berubah dalam hal pengendalian diri."

"Cih!" Surapraba menepis. Barangkali dia meludah di balik topeng perunggunya yang gagah. "Manusia. Tak bisa dipercaya. Dulu mereka datang dengan panah, kini dengan timah. Tak ada bedanya! Mereka tetap makhluk laknat!"

Haricatra (Trilogi Pertama, Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang