Ambisi di Gunung Sanghyang

835 86 2
                                    

Ken baru saja menutup-banting pintu mobil SUV silver-nya yang mentereng lalu dengan tergesa-gesa masuk kantor. Pintu kaca otomatis di depan tetap saja tak bergeming, tak pernah menyapa. Ken jadi iri sendiri. Kadang-kadang pikirannya memba­wanya pada rasa iri yang tidak masuk akal pada sebuah pintu. Pekerjaan pintu itu cuma dua: membuka jika ada yang lewat dan menutup sendiri jika jalur masuk sepi. Sebuah gaya hidup yang benar-benar simpel. Jika saja watak semua manusia yang baru saja diajaknya negosiasi sejak pagi bisa diajak kompromi semudah pintu otomatis, dia tidak perlu geram dan menyerempet pembatas jalan hingga bumper mobilnya yang mahal lecet.

"Siang, Pak," petugas resepsionis menyapanya. Senyum gadis itu tampak tulus,—semringah melihat atasannya kembali ke kantor.

"Siang," jawaban Ken menggerubuk seperti seorang penyelam yang berbicara di dalam air. Dia sedang tenggelam dalam kubangan kekacauan di dalam kepala. Penampilannya hari itu memang tidak seperti biasa. Tidak ada jas, tidak ada dasi dan sepatu pantofel mengkilap. Syukur saja resepsionis masih mengenalinya sebagai orang yang patut disapa dan dilayani. Dia baru saja datang dari kunjungan ke desa. Orang-orang desa tidak terbiasa melihat manusia berdasi, sehingga dia terpaksa harus mengganti penampilannya dengan sehelai kaos krem dan jas tipis yang santai. Berbicara enak dengan orang-orang desa yang baru dikenal adalah masalah kesamaan status. Memakai dasi dan jas hitam ke desa-desa akan membuatnya tampak bagaikan tuan menir kaya raya dari kota luar negeri.

Menyeberangi koridor yang temaram sejauh beberapa meter, Ken berhenti di depan sebuah pintu berdaun dua. Seusai mengetuk, pria berambut ikal pendek itu langsung mendorong pintu, menyeruak masuk. Udara AC mendadak berdesir dingin, seketika membalut otaknya yang berpijar dengan pelukan dingin yang menyenangkan.

"Ken!" seseorang berseru dari dalam. Pria berperut agak buncit itu berdiri dan mengembangkan kedua tangannya, bergaya menyambut. Seorang pria lain tetap duduk di sofa bulu yang lembut sambil menyeruput segelas lemon. Matanya menukik tajam di balik kacamata frameless elegan yang bercokol di wajahnya.

"Gila. Saya baru bisa bernapas di sini," Ken meluncur ke arah tengah, membanting tas ranselnya di badan sofa, lalu giliran menjatuhkan pantatnya di ujung lain sofa. "Jalanan benar-benar panas."

"Ceritakan padaku hasilnya," pria berkacamata meminta. Kalimatnya ditutup dengan satu tegukan lemon lagi. Ada suara es batu bergemerutuk asyik di mulutnya. Dasinya menjuntai santai di dada, dan lengan kemejanya yang kebiruan terlipat hingga bawah siku.

"Tanda terima sudah jadi," terang Ken. Dia berjuang membasahi kerongkongannya yang pecah-pecah. Dari tadi pagi dia tidak sempat meneguk apa pun. Seandainya ada satu gelas lagi sari lemon dingin di meja itu, dia akan meneguknya dulu sampai habis sebelum bicara. Hari itu dia mengunjungi empat desa, membahas hal yang sama empat kali bersama ratusan kepala berbeda, dan lupa minum.

"Bagaimana reaksi mereka?" pria berperut agak buncit bertanya.

Ken berdehem keruh, melumasi kerongkong­annya lagi. "Pak, boleh saya minta sedikit minum? Saya benar-benar kehausan," dia terpaksa melontarkan permohonan remeh itu. Rasa haus di sepanjang batang lehernya sudah tidak bisa diajak kompromi.

"Maaf, maaf," pria berperut agak buncit terkekeh. "Soni dan aku terlalu antusias sampai-sampai lupa menawarimu lemon," dia bangkit dan melangkah ke sudut ruangan. Di sana tergeletak beberapa gelas besar. Salah satu gelas bening yang ada di ujung diambilnya. "Tadi kami memesan satu termos besar es lemon segar dari pedagang buah di depan kantor. Kujamin lemon ini bisa melenyapkan rasa hausmu seperti kapsul Tetraprofen melenyapkan kanker."

Ludah Ken mendadak mengucur deras ke lambungnya ketika aliran lemon dingin tertuang lepas ke dalam gelas.

"Tapi mereka setuju dengan harga yang kita tawarkan?" Soni, si pria berkacamata tak mau menunggu.

Haricatra (Trilogi Pertama, Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang