"Profesor Dhira Tanuja," perempuan tua itu menyambut semringah. "Setelah bertahun-tahun, apa yang kini membuatmu datang ke gerai tuaku ini?"
Dhira segera menghapus galau yang menggenang di lensa matanya. "Sudahlah Sri," lagasnya.
"Ya, ya," perempuan tua itu manggut-manggut sambil terkekeh. "Orang tidak akan datang pada Sri Purnami tua bangka ini sebelum semua logikanya habis. Hanya pemalas putus asa yang menyodorkan telapak tangannya padaku."
"Aku tidak datang untuk diramal," tepis Dhira dingin.
"Tentu saja tidak," Sri Purnami tersenyum ringan. "Akademisi macam kamu mana pernah kehabisan logika?"
Pintu dilebarkan. Bau mint menyembur sejuk, menyerbu hidung, menumpas sinus yang mampat.
"Tapi sebagai seorang ayah, tentunya kamu ingin dengar sesuatu dari tuan kecil ini, bukan?" Sri Purnami mengerling. Raut wajah Haricatra gusar di sudut matanya.
Tak perlu basa-basi lagi untuk membuat kaki Dhira maju, menginjak karpet lembut dengan canggung.
"Pakai saja sepatu kalian," Sri Purnami membiarkan kedua tetamunya menghirup napas rileks. "Tempat ini sudah diinjak ribuan alas kaki dari Eropa dan Amerika. Tidak ada salahnya ditambah dua pasang lagi kaki lokal."
Bagian dalam ruangan tampak suram. Sebutir lampu ruangan bersinar jingga di sudut, mengusir separuh kegelapan yang menghantui dari balik plavon bergaya Amerika klasik. Ada tirai yang panjang di sisi ruangan, menutup rapat semua jendela. Di bagian tengah sebuah meja mahogany besar yang berat bergeming kokoh, dan buku-buku tebal bertumpuk sembrono di atasnya. Haricatra melirik beberapa judul,—seputar ilmu astrologi, palmistri dan sejarah. Selera yang antik.
"Beginilah suasana pertapaanku, Profesor Dhira," Sri Purnami membentangkan tangan. Dia lalu bergegas menutup pintu, menguncinya rapat. Tulisan OPEN di kaca pintu dibaliknya jadi CLOSED. Matanya memastikan bahwa tak ada siapa pun di luar. Digesernya korden pintu hingga semua celah tertutup.
Dhira merebahkan badannya ke sofa dengan begitu santai, bagaikan kembali ke rumah yang lama. Lengannya mengembang rileks di punggung kursi. Haricatra duduk di samping ayahnya, masih dengan ekspresi tegang yang patah-patah.
"Well," letup Sri Purnami tatkala berjalan ke tengah ruangan. "Bagaimana kabar Rani-ku tercinta?"
Rok kelabu perempuan itu terjuntai panjang hingga nyaris menyentuh lantai. Badannya yang kurus ceking terbalut sweater ungu tua yang warnanya jadi samar dipadu cahaya lampu. Ada syal tebal membelit lehernya, dengan warna kelabu yang tak kalah tuanya dengan kulit wajahnya yang mulai longgar. Walau demikian, parasnya keibuan. Samasekali tak ada rona eksentrik yang menyimpan niat jahat. Sepasang anting bundar bergelayutan di daun telinganya yang pipih, dan sekuntum jepun kuning bertengger di gulungan rambut yang tersisir rapi di kepalanya, berpadu dengan sirat-sirat uban yang bijak.
"Sekarang dia sudah pintar memasak bubur kacang hijau," Dhira menyambung.
Kembali Sri Purnami terpingkal beberapa detik. Deretan gigi-giginya rata dan putih. Samasekali tak ada kesan seram di wajahnya. Walaupun ruangan itu sedikit gelap, segala sesuatunya terasa nyaman. Perempuan itu duduk di kursinya di belakang meja besar dan tumpukan buku-buku supertebal.
"Aku selalu yakin bahwa Rani kini ada dalam perlindungan orang yang tepat," Sri Purnami bersandar. Kursi berderik halus. "Andai saja aku bisa melihatnya sekali lagi sebelum aku mati."
"Kamu sedang bicara apa, sih?" Dhira kelihatannya terganggu. Tak ada kata sandang 'bu' atau 'nyonya', seolah-olah dia sedang bicara pada saudaranya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Haricatra (Trilogi Pertama, Telah Terbit)
FantasyTerbit Januari 2022! Untuk pemesanan, isi formulir di bit.ly/novelharicatra Jika bisa kamu temukan Nagapuspa, lotus emas yang tumbuh di atas batu dan menyembuhkan segala penyakit, apa yang akan kamu lakukan? Jika kamu membagikannya kepada seluruh um...