Epilog

481 9 1
                                    

"Jadilah orang baik." Kebanyakan orang akan menyangka kata-kata ini akan membawa seseorang menjadi berhasil, menjadi apa yang dia inginkan dalam hidupnya. "Jangan berbuat jahat." Dan kata-kata lain seperti ini dipercaya membawa seluruh umat ke dalam kedamaian abadi. Namun apakah kita dapat mempedomankan kata-kata tersebut ke hati kita?

Jawabannya tidak selalu...

Kadang-kadang, kita, sebagai manusia harus menghadapi situasi di mana mata hati kita buta karena tidak ada cahaya kebenaran yang menjadi lentara hidup. Kita harus berjalan meski gelap dan tak jarang batu menyelengkat kaki. Kita haus, kita lapar akan cahaya kebenaran itu. Namun, saat cahaya itu menguasai, kita tidak dapat mengelak kepastian dalam diri kita. Kepastian dalam diriku adalah anggapan bahwa semua orang adalah sama, mereka jahat. Baik dia perempuan maupun laki-laki, semua sama saja. Bahkan, definisi ini berlaku untuk diriku sendiri. Itulah mengapa aku berada di dalam kuburanku sendiri.

Pertama kali membuka mata, aku disambut dengan ramah oleh bau kayu yang membusuk, udara pengap, dan repihan tanah. Semua hal itu membuatku kaget dan tanda tanya di atas kepalaku. Tidak satu pun gambaran yang terjadi untuk menjelaskan ini semua. Di atas semua kelupaan ini, aku menjamah rambut panjangku yang terurai berai karena cairan kental yang menyungai di dasar kepalaku. Terkejut bukan main ketika aku mendapati cairan itu adalah darahku sendiri.

Akhirnya, aku membuat suatu kesimpulan yang berujung dengan satu penjelasan, retrograde amnesia. Untuk beberapa menit ke depan, aku mencoba menyambung seluruh neuron-neuron dalam otakku untuk menyikap apa yang sebenarnya terjadi kepadaku. Akan tetapi, semua itu percuma. Yang aku temukan dalam kepalaku hanya gambaran-gambaran semu tentang seorang perempuan, yang mungkin adalah pelaku dari penguburan diriku dalam peti ini.

Aku mulai merangkak. Setelah menggagau dalam buta, aku menjumpai banyak hal. Mulai dari semua barang-barang pribadiku masa kecil: buku, pulpen, sisir, foto-foto keluargaku, sampai buku harianku. Aku juga berkenalan dengan selang yang sepertinya mengalirkan udara dari luar kubur ke dalam ruangan yang gelap ini. Tidak butuh waktu lama untukku bertemu papan tebal di depan, belakang, atas, kanan, dan kiriku; di seluruh sudut. Semua ini menghanyutkanku dalam kesimpulan: aku telah dikubur hidup-hidup dalam sebuah peti mati.

Aku berbohong kepada diriku sendiri bahwa aku akan segera keluar dari liang kubur ini, berkata kepada diriku sendiri bahwa aku harus tenang dan berpikir jernih. Namun, ketenangan diriku sirna ketika ingatan sebelum bencana yang menimpaku ini mulai membesit dalam otakku dengan beruntun. Dalam ingatan samar-samar itu, aku yakin seseorang dalam bahaya. Aku tidak tahu siapa, mengapa, ataupun bagaimana, tetapi dia adalah orang yang sangat berharga dalam hidupku dan satu-satunya. Intinya, aku harus menyelamatkannya, apa pun yang terjadi. Ingatan samar-samar itu terus mendorong dan memacu diriku untuk keluar dari kuburan ini dengan segera.

Aku mulai memukul papan kayu di bagian atas. Metakarpal jari-jari tanganku melengkung dan berdarah-darah. Kuku-kukuku mulai rontok karena terlalu keras mengais peti yang seperti batu. Namun, hal itu sama sekali tidak menggangguku untuk terus mencakar-cakar peti mati.

Aku merasakan takut yang luar biasa. Itu bukan kematian, bukan juga sendirian, melainkan rasa akan kehilangan. Perasaan kuat ini terus menggoyah-goyahkan tubuhku dan seolah-olah berkata kepada diriku, "Orang yang kau cintai akan mati. Cepat keluar dari sini!"

Kuku-kukuku mulai menghitam, kotor, berdarah, tetapi aku terus menggaruk-garuk papan peti mati ini dengan segala tenaga yang kupunya. Akhirnya, papan di depanku jebol, walaupun hanya lubang sebesar genggaman tangan. Masih ada lintasan dinding di hadapanku: tanah padat.

Tanah keras bercampur akar itu berhasil mematahkan jari telunjukku yang memang sudah rapuh sejak tadi, tetapi aku tidak peduli. Aku tetap menggali, dan menggali, hingga permukaan berhasil kuraih. Baru beberapa sentimeter saja, longsor menutup jalan harapanku. Aku pun mengambil waktu itu untuk kembali ke tengah peti mati dan membaringkan tubuh, kemudian membenahi diriku sendiri.

Kegelapan ini sangat menggangguku lebih dari penyakit yang aku derita sejak lahir. Aku tidak dapat melihat dengan jelas seberapa parah luka di tubuhku. Aku pun hanya bisa percaya pada tanganku. Di ujung penjelajah terhadap tubuhku, aku menemukan kakiku patah.

Ini hanya butuh waktu beberapa jam untukku mati karena pendarahan, atau rhabdomyolysis, atau nekrosis, atau infeksi. Tanah yang sudah bercampur dengan darahku membuatku takut terhadap emboli yang akan menyerangku suatu saat nanti.

Semua luka, kegelapan, dan keterjebakan ini menjadi alasan untuk berputus asa. Aku tidak akan dapat bertemu sinar rembulan lagi. Aku tidak dapat keluar dari tempat ini dalam keadaan hidup. Aku kehilangan harapan untuk hidup.

Tiba-tiba, ingatanku kembali. Bayangan tentang masa itu berputar-putar di atas kepalaku seperti korsel. Ingatan gelap itu mengambil bentuk cahaya seperti televisi tanpa bingkai. Dengan tanganku yang sudah tidak berdaya lagi, aku berusaha meraih masa lalu yang kelam itu dan berusaha dengan sangat keras untuk mengatakan kepada diriku sendiri, "Jangan lakukan itu!"

Dalam keadaan sangat hening hingga dapat mendengar alirandarah dalam tubuhku seperti sungai, di antara kenangan-kenangan suram itu, adasetitik cahaya putih yang menerangi kuburanku. Setitik cahaya ituperlahan-lahan membentuk sosok malaikat kecil. Wajahnya kukenal. Dia adalah seorangyang aku akan selamatkan; orang yang lebih berarti daripada diriku. Dia adalah sosokkecil yang menjadi bulan terang dalam hidupku yang gelap. Dia adalah putrikusendiri, Luna.

Lakon SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang