Bab 31 : ...Bercermin di Kolam Jernih...

24 2 0
                                    

Matanya hitam nan tajam meratapi malam kelam yang tak berdasar. Sayapnya, kedua tangannya merentang menghilangkan penat menunggu mangsa lama. Perutnya tak membunyikan alarm, tetapi lehernya setia memutar ke segala arah untuk mencari mangsa di hutan. Burung hantu itu pun menemukan mangsanya, yaitu tikus-tikus kecil yang memungut biji-bijian di tanah.

Predator itu mengambil ancang-ancang dengan mengibarkan sayapnya seperti pesawat jet yang siap tinggal landas. Binatang nokturnal itu menyambar udara, kemudian melintang anggun ke pengerat. Dengan cakar tajamnya, unggas karnivora itu menculik salah satu mamalia kerdil itu dari teman-temannya.

Di atas dahan pohon angsana, burung hantu itu mencekik leher tikus itu dengan paruhnya, memelintir, dan membantunnya seperti paku yang tertanam di papan. Pembunuhan terjadi di hutan yang lengang. Tidak ada mata yang menyaksikan pembantaian itu, kecuali mata buram katak buduk yang tak berani berdecit di belakang burung hantu.

Di malam yang sama, aku dan Pedang melakukan pekerjaan keji ini lagi. Membunuh dan membedah. Pedang mengakhiri nyawa 'orang desa', sementara aku mengupasnya dan memindahkannya ke kotak penuh es. Tidak ada tempat jagal yang pasti untuk aktivitas penuh dosa ini karena setiap minggu kami berpindah-pindah untuk menghindari penciuman polisi.

Aku menyelamatkan seorang perempuan hamil dengan membunuh pelacur. Aku menjauhkan kuburan dan pejabat negara dengan mengubur pencuri. Aku menghidupkan arsitek dengan mengorbankan preman pasar. Ternyata, orang-orang yang mereka sebut 'orang desa' adalah orang yang dipilih dengan kategori orang-orang depresi, kriminal, dan orang yang tak pantas hidup, menurut mereka. Di mata Gerakan Bawah Tanah, organ mereka sia-sia dan lebih baik diberikan kepada orang-orang yang pantas menerimanya, orang-orang yang membutuhkan dan benar-benar berhak untuk hidup.

Di pagi harinya, aku melepas identitasku sebagai burung hantu dan mengenakan sayap putihku untuk menjadi merpati. Di sore harinya, aku adalah angsa yang penuh cinta dengan keluarga. Di malam hari, aku kembali menjadi burung hantu yang memburu mangsa. Dan begitu untuk seterusnya. Tidak ada waktu untukku istirahat dengan tenang, apalagi setelah mereka datang ke RSS. Mereka adalah Dara, Hijau, Kidul, dan Mas'udah. Mereka semua adalah mahasiswa yang koas di RSS untuk mencapai gelar dokter. Aku adalah payung pendamping mereka selama menetap di rumah sakit kecil ini.

Tidak ada kata santai setelah aku berjabat tangan dengan mereka. Tangan dan kakiku selalu sibuk untuk memperbaiki setiap kesalahan mereka, terutama Dara. Perempuan yang bernama lengkap Dara H. Hastaningrum ini penuh dengan rasa penasaran. Hal pertama yang dilakukannya saat menginjak RSS adalah menyambangi setiap sudut ruangan serta menjamah setiap peralatan kedokteran yang ada. Api semangat perempuan asal Solo ini tak pernah padam untuk mencapai cita-citanya, yaitu ahli bedah syaraf.

Cita-cita yang sama juga dilontarkan dari mulut Mas'udah. Perempuan kurus yang berjilbab syar'i ini adalah anak emas karena tubuhnya renta. Perempuan keturunan Arab ini selalu menjinjing inhaler ke mana-mana. Meskipun begitu, perempuan asal Tangerang ini selalu mencahayai semua orang dengan kilauan kuningnya.

Dara dan Mas'udah berbeda jauh dengan Kidul. Perempuan asal Pacitan ini sangat pendiam. Aku beruntung, anak dosen ini adalah yang paling rajin dan yang paling minim membuat kerusakan. Bahkan, perempuan yang jarang menggelar obrolan dengan teman-temannya ini membantuku membersihkan kesalahan teman-temannya. Perempuan dengan nama lengkap Kidul Latifa ini juga pantas disebut cerdas.

Kecerdasan Kidul masih jauh di bawah Hijau Pandu Mahardika. Laki-laki satu-satunya di bawah payungku ini mampu mendiagnosis pasien tanpa bertemu, bahkan melihatnya. Akan tetapi, buah dari kecerdasannya adalah kemalasan. Meskipun begitu, pria yang dipanggil Hijau oleh teman-temannya ini suka menolong dan cinta dengan keharmonisan.

Sebenarnya, ada total 7 mahasiswa dari semuanya, sisanya yaitu Sore Setia Perdana, Pasha, dan Nila Rahmatika Sari. Mereka bertiga berlindung di bawah payung Bintang selagi menempuh ilmu di RSS.

Lakon SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang