Bab 9 : Supernova

44 3 0
                                    

"Aku punya tv series bagus di rumah, House M. D., yang bercerita tentang seorang dokter pincang yang ingin menolong orang-orang. Ap-apa kau bisa menemaniku... awalnya sih aku mau ngajak Romi, tapi dia sibuk dengan pacarnya," kata Bintang dengan wajah merahnya.

Semenjak aku mengenalkan sosok Angkasa kepada Bintang, entah mengapa, Bintang kembali tidak pernah lebih dari 14 meter dariku. Seperti serigala yang tak mau kehilangan mangsanya, pria yang baru lulus spesialisasi bidang anestesiologi ini terus memburuku. Setiap kali kami berdua saja, Bintang selalu mengunjukkan taring tajamnya. Lidahnya selalu menjulur dan air liur tidak pernah berhenti menetes.

"Aku sangat terhormat kau mengajakmu, tetapi aku tidak bisa. Aku sibuk saat malam. Aku benar-benar minta maaf," tolakku.

Semoga dengan penolakan ke-5 ini, Bintang akan menyerah dan memandangku lagi seperti rekan kerjanya, bukan mangsa yang dapat dilahapnya begitu saja. Namun, ketidakadaan pasrah di wajahnya menunjukkan pria yang menyukai anime ini masih mempertahankan tiang-tiang harapannya. Dia masih teguh dengan pendiriannya untuk mengurangi jarak 14 meter dariku.

Keesokan harinya, tiba-tiba, Bintang menghadiahkanku sebuah liontin hati dalam sebuah bingkisan yang tertata rapi. Ternyata, Bintang ingat dengan tanggal kelahiranku, 3 Februari. Rekan-rekanku sesama dokter, teman-temanku, bahkan Selasa dan Ayah saja tidak menyadarinya. Entah setebal apa buku pengetahuannya tentang diriku.

Tidak cukup dengan liontin biru yang tersusun dari ametis, Bintang mengundangku ke restoran bintang 4 yang terkenal mahalnya. Namun, sekali lagi, untuk yang ke-6 kali, aku berkata, "Maaf, aku tidak dapat pergi denganmu kali ini. Aku sibuk."

"Apa ini tentang Desa Tumpah Sari yang ingin kau bangkitkan lagi?" tanya Bintang. "Sejujurnya, jika kau memperbolehkanku, apakah aku dapat ikut serta dalam Operasi Tumpah Sari-mu itu?"

Aku pun tidak mempunyai alasan untuk tidak memperbolehkannya ikut serta dalam kebajikan. Aku tidak pernah menyangka Bintang akan sejauh ini untuk mendekatiku. Jika aku tidak memancangkan telinga dan mataku baik-baik, tangannya akan mengaduk-aduk kehidupan personalku. Namun, di atas semua itu, aku sangat menghargai setiap keringat yang menetes hanya untukku itu.

Dengan adanya Bintang, bokongku tidak perlu bersenggolan lagi dengan jok keras motor Angkasa. Tidak ada lagi mogok, bising, dan polusi. Aku tidak harus beradu keras dengan motor tua pencemburu itu lagi. Semuanya tenteram dan sejuk dalam mobil sedan yang penuh dengan AC ini. Bahkan, aku menemukan diriku terlelap dalam keempukkan suasana ini.

Enam jam perjalanan dipersingkat menjadi satu jam. Kami tiba di balai Desa Tumpah Sari yang berada di jantung desa. Bangunan seperti rumah keraton itu masih kokoh berdiri dengan cat cokelat yang kuingat saat kecil. Angkasa dan aku kerap kali mendapat jeweran Kepala Desa karena bermain-main di tempat sakral itu.

Di sana, telah berkerumun para pemuka dan ibu-ibu rumah tangga. Sekumpulan mata pengemis harapan pun menyambut kami dengan hangat. Aku tidak sendirian saat menjabat Kusnadi, sang kepala desa, aku ditemani tujuh dokter, termasuk Bintang, yang bersedia meluangkan waktu dan pengetahuan mereka kepada warga desa yang malang.

Tiada dari kami yang ingin berlama-lama di balai desa, mengingat wabah DBD masih mengepul pekat di Desa Tumpah Sari. Oleh karena itu, setelah berkenalan dan menenggak secangkir teh, kami segera menyambar setiap rumah yang dilaporkan terkena wabah.

Ada delapan dari kami yang menyebar ke utara, selatan, timur, dan barat. Masing-masing arah mata ingin disusuri oleh dua orang dokter. Kebetulan, aku berpasangan dengan Bintang ke utara.

Satu pintu demi satu pintu, kami salami. Salah satu kerajaan lebah di atas pintu pun tergetar dan membangunkan delapan lebah dari tidurnya. Serangga penyengat itu segera merayap terbang dari sarangnya. Dengan giat dan semangat, mereka menyambangi setiap bunga dan memanen nektar-nektar segar di sepanjang jalan. Tidak ada yang menghentikan derap langkah mereka, kecuali seorang nenek tua dengan sapu lidinya.

Lakon SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang