Sepucuk matahari tumbuh perlahan-lahan dari balik cakrawala. Mata angkasa itu telah memutar dari tepi, mengitari bumi pertiwi. Emanasinya merambat, meluas ke seluruh tanah. Kegelapan terbirit-birit menghindari panas cahayanya. Kelinci, kura-kura, domba, dan sapi menantinya untuk terbit dari balik bukit. Binatang-binatang itu tampak bersukacita, bahkan untuk reptil berbisa seperti ular. Akan tetapi, ada mamalia yang tidak mengharapkan kedatangan fajar ini. Dia adalah kelelawar.
Binatang pemburu malam itu menemukan anaknya terbaring mengenaskan di sarangnya. Cahaya matahari menjalar ke tubuh anaknya dan menampakkan sakit yang dialami anak mamalia rabun itu. Anak kelelawar yang biasanya agresif dan penuh kreatif kini terbaring pedih. Ibunya tidak mampu melakukan banyak kecuali menyediakan buah-buahan segar ke mukanya dan berharap sayapnya dapat mengepak kembali. Akan tetapi, tidak sampai matahari menyinari seluruh sarangnya, anak vampir terbang itu mengembuskan napas terakhirnya.
Sinar matahari tampak tak peduli dengan kematiannya dan meneruskan pekerjaannya untuk mengusir gelap. Partikel-partikel panas itu pun sampai ke rumahku. Sama seperti nasib ibu kelelawar, cahaya matahari juga menampakkan tragedi yang ditutupi gelap. Dengan perlahan-lahan, matahari menyibakkan tubuh Luna yang lara.
Gadis itu sakit. Termometer meroket hingga atap saat diselundupkan ke dalam mulutnya. Mata malaikat kecilku itu tak dapat membuka. Dia tak sanggup berbicara, meskipun sadar sepenuhnya. Kaki-kakinya pun tak kuat menopang tubuh mungilnya. Yang dilakukannya hanya merintih pedih.
Tidak sama seperti ibu kelelawar itu, aku, sebagai manusia yang mempunyai pendidikan tinggi di sekolah medis, tidak membiarkan putriku sendiri merenggang nyawa. Aku memberikannya antibiotik yang tersisa saat itu. Akan tetapi, amoxicillin sama sekali tidak membantu sistem imun Luna untuk menurunkan demam Luna, malahan tubuh Luna semakin menguning.
Sesegera mungkin aku menggendong Luna ke Rumah Sakit Sejahtera. Leptospirosis pun melabuh di telingaku sebagai penyakit yang diderita anakku, Luna. Sepertinya, bermain banjir-banjiran di dekat rumah menyebabkan bakteri leptospira menerobos ke aliran darah Luna melalui luka-luka yang diperoleh dari kekacauan di pesta pernikahan Selasa dan Bintang.
Kekhawatiranku akan kehidupan Luna terkalahkan dengan kekhawatiranku akan uang. Biaya pengobatan Luna memeras tabungan aku dan Angkasa hingga tetes terakhir. Tidak ada sekoin pun yang tersisa dalam dompetku. Hubungan aku dan Selasa, sang pemilik RSS, kaku sehingga aku sama sekali tidak mendapat tangan untuk memikul beban ini.
Angkasa sampai-sampai menandatangani surat cerai dengan motornya demi sebakul nasi. Pria gagah itu mewek saat keluar dari rumah gadai. Sebelumnya, aku tidak pernah menyaksikan pria gagah itu merintikkan air mata kecuali saat ayahnya sakit.
Usaha Angkasa sama sekali tidak menaikkan derajat kami. Uang hasil penggadaian motor tidak mencukupi kebutuhan aku dan Luna. Kami kembali jatuh semiskin-miskinnya. Bahkan Pak Parjo, tetangga pengemis kami, jauh lebih kaya daripada aku dan Angkasa digabung. Rumah Pak Parjo tidak pernah sunyi dari gema kerupuk yang dikunyah. Setiap hari, pasti halaman depannya penuh dengan kucing yang mengantre tulang ayam bekas piring-piring keluarga Pak Parjo. Semua kucing mendapat jatah sama rata. Adapun kucing-kucing yang terlambat atau makanannya dicuri oleh kucing lain, mau tidak mau harus meninggalkan rumah Pak Parjo.
Kucing-kucing yang terlambat atau makanannya dicuri oleh kucing lain itu kelaparan. Mamalia berbulu itu berjalan di tengah malam dengan perut keroncongan. Binatang berkaki empat itu berharap menemukan rumah-rumah Pak Parjo yang lain sebelum mati dengan perut kosong.
Tidak lama, kucing-kucing itu mengeong di depan rumahku. Akan tetapi, tidak ada yang dapat kuberikan kecuali sapaan senasib. Bunyi perut mereka sama dengan bunyi perut aku dan Angkasa. Perut mereka dan kami saling memadu musik hingga terdengar konser yang mengisi malam sunyi.
Angkasa stres. Apalagi saat Luna merintih perih dengan perut yang bergendang dan aku yang terus memohon untuk dikembalikan sayapku. Kedua orang tercintanya benar-benar menghimpitnya keras-keras.
Akhirnya, orang yang tidak pernah melanggar tradisi Tumpah Sari selama lebih dari 30 tahun itu mengibarkan bendera putih. Angkasa menyerah. Dia menganggukkan kepalanya saat aku bertanya, "Bolehkah aku bekerja kembali di RSS untuk menopang keluarga kita?"
Saat fajar tiba, sesegera mungkin, aku menggoel sepedaku. Di RSS, aku menceritakan penderitaanku bersama Angkasa. Akhirnya, sama seperti Angkasa, Selasa menganggukkan kepalanya saat aku bertanya, "Bolehkah aku bekerja kembali di RSS untuk menopang keluargaku?"
Dengan kedua anggukan kepala, aku memperoleh sayapku kembali. Kini, matahari yang dahulu terbenam oleh angkasa malam terbit dengan sinarnya yang menyilaukan mata. Pohon kehidupan keluargaku pun mendapat cahaya matahari, meskipun daun-daunnya gundul dan ranting-rantingnya terkikis. Pohon tersebut masih bisa berdiri tegap untuk menghadapi musim dingin yang membekukan air dan tanah.
Hari pertama di RSS, aku harus menggenjot sepedaku. Benda biru beroda dua ini dibeli Angkasa dengan gaji pertamanya di bengkel saat awal pernikahan kami. Bisa dikatakan, sepeda bekas berjenis kelamin perempuan ini adalah hadiah karena mencintai dirinya. Sekilas, sepeda ini tidak ada unsur keindahannya, malah cat birunya memudar, keranjang depannya hilang, remnya blong, karat menjamur di setiap sudut roda seperti panau. Akan tetapi, karena kesetiaannya kepadaku, sepeda ini kujadikan saudari perempuan setelah Selasa.
Saat enak-enaknya mengayuh, aku berjumpa dengan seekor merpati yang terperangkap dalam keranjang sampah yang di atasnya bersemayam batu kali. Sepertinya, anak-anak Tumpah Sari sedang mengerjai burung malang itu.
Wajahnya merunduk. Paruhnya mengetuk-ngetuk tanah keras di bawah kakinya, berharap cacing akan keluar untuk menyelamatkan perut kosongnya. Sayapnya tak rusak dan terus membentang terbang, tetapi kandang tak memperbolehkannya bersua dengan langit. Unggas lambang cinta itu tidak pernah menerima nasibnya untuk mati kelaparan di dalam keranjang sampah yang hina; dia tidak menyerah begitu saja dan terus memberontak kalap.
Sebelum tanganku menyentuh tempat sampah, unggas putih itu terbebas dari kandang yang mengekangnya dengan cara merobohkannya ke samping. Burung itu pun dapat melintangkan kedua sayapnya di langit lepas untuk menyetuh awan. Kebahagiaannya tercuat dengan senandung merdu yang dinyanyikannya.
Aku mengerti penderitaan dan kebahagiaan merpati itu karena, kurang lebih, aku adalah sama dengannya. Aku adalah sang pemilik sayap yang baru saja terlepas dari momentum angular yang mengikatku dalam rotasi.
Satu bulan selanjutnya, aku berhasil mengangkat keluargaku dari genangan lumpur yang hina. Gaji pertamaku adalah enam kali gaji Angkasa selama sebulan. Uang itu mengalir deras ke taman cinta keluargaku. Kebahagiaan konkret itu meresap ke dalam bunga-bunga yang hampir gugur. Secara perlahan-lahan, kelopak bunga-bunga itu mekar dan menebarkan aroma semerbak harapan.
Alhamdulillah, dengan upah bulanan pertama ini, aku dapat memborong peralatan memasak, beras, lauk-pauk, dan yang paling penting aku dapat membeli ketoprak yang setiap malam melewati rumahku dengan kentungannya yang nyaring dan aroma bumbunya yang menyengat.
Rumah yang dahulu dipenuhi gema keroncongan kini ramai dengan gelak canda orang-orang kenyang. Aku akhirnya mendapatkan senyum keluargaku kembali.
Lembaran bab baru dalam buku hidupku baru sajaterbuka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lakon Semesta
HorrorKirana adalah seorang dokter yang menderita congenital insensitivity to pain with anhidrosis (tidak bisa merasakan sakit). Dia dan putrinya berjuang untuk keluar dari sistem rumah sakit dan para dokter yang memanen organ tubuh manusia dari pasien.