Bab 18 : Bumi

30 3 0
                                    

"Kau tidak bisa menolongku!" teriak seorang wanita dari balik kaca di rumah angker.

Petir menyambar bumi seperti hujan. Angin mengembus bagai badai yang tak berkesudahan. Aku menggigil kedinginan di bawah renungan rintik-rintik hujan yang membabi-buta menghajar tubuh rentaku.

Tak punya pilihan, aku merangkak masuk ke rumah angker, yang di lantai duanya seorang wanita meneriakiku sebelumnya. Lembab adalah yang pertama kali menyapaku ketika melangkah ke ruang tamunya. Decit-decit kayu tua mengiringi setiap langkahku ketika menjelajahi setiap sisi ruangan.

Langkahku terhenti saat menjumpai sosok wanita berambut panjang yang sebelumnya meneriakiku. Kepalanya menoleh seperti kepala burung hantu yang menemukan mangsanya. Rambutnya terurai seperti tirai dan menunjukkan wajahnya. Rupa perempuan itu pun tidak asing lagi. Dia adalah Pertiwi, pasien yang meninggal karenaku.

Tangan kuyupnya menjulur ke arahku. Desah napasnya begitu menyeramkan hingga mendirikan bulu kudukku seketika. Ketika kaki-kakinya mengambil langkah, tubuhku kaku lalu bergetar hebat hingga tidak bisa bergerak satu jari pun. Dengan mudahnya, Pertiwi meniban tubuhku.

Mulutnya dan telingaku hanya berjarak 5 cm. Dengan desah dinginnya, Pertiwi bertanya, "Mengapa kau tidak memilihku saat itu? Mengapa kau membiarkan aku mati? Mengapa?"

"Aku tidak tahu. Aku tidak tahu...."

"Tidak tahu bukan alasan!" teriak Pertiwi melayangkan tangannya tinggi-tinggi dan menghempaskannya ke wajahku.

Aku pun terbangun dari mimpiku.

Rasa syukur tidak henti-hentinya meluncur dari mulutku. Ternyata itu hanya mimpi yang menghantui malam-malamku semenjak Pertiwi dan Adam meninggal dunia.

"Apa Bunda sedang mimpi burluk?" tanya Luna dengan lidah cadelnya di samping tempat tidurku dan Angkasa.

"Iya. Bagaimana kau bisa tahu?" tanyaku.

"Bunda tadi terliak-liak sampe Lruna bangun. Jadi Lruna tahu kalo Bunda lragi mimpi burluk," jelasnya.

Setelah kisah lama penjelasan mimpiku yang penuh karangan, aku dan Luna bekerja sama untuk memasak nasi goreng spesial. Angkasa tidak ikut andil karena masih terlelap dalam mimpi. Suamiku mungkin kelelahan setelah seharian bekerja di tempat barunya yaitu bengkel lamanya. Aku pun hanya menyajikannya nasi goreng dalam piring dengan catatan di sampingnya,

Angkasa,

Maaf aku tidak mau mengganggu tidurmu. Aku sudah menyiapkan sarapanmu sebelum berangkat ke RSS bersama Luna.

Cinta Kirana dan Luna.

Karena pemilik sayap sering mendapat panggilan mendadak, meninggalkan surat kepada keluarga sudah biasa. Angkasa pun lazim menemukan secarik surat yang berseberangan dengan sarapannya.

Tidak lama setelah pintu terkunci, Angkasa membuka matanya. Pria berlengan buntung itu harus menyuapi mulutnya dengan tangan kiri. Beruntung benda bernama sendok sudah lama ditemukan. Jadi, Angkasa tidak perlu takut akan bakteri yang berimigrasi dari kotorannya ke tangan kirinya.

Angkasa tidak sendirian menikmati sarapannya. Ada seorang betina yang menemani setiap suapannya dengan ratapan melankolis. Betina itu adalah Miss White, seekor kucing dengan ekor buntung berwarna putih terang. Kucing itu dibawa pulang Luna untuk diobati ekornya yang "diserang" oleh jantan. Alhasil, kucing itu menjadi anggota tetap keluarga kami.

Jarak Miss White dan Angkasa tidak melebihi satu jengkal. Jarak seperti ini biasa untukku dan Luna, tetapi tidak untuk Angkasa. Pria yang agak takut dengan mamalia berbulu itu pun melontarkan secuil ikan yang teraduk dalam nasi gorengnya.

Lakon SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang