Bab 36 : Ayah

22 4 0
                                    

Bayangan itu mencuat dari balik pintu, melebar ke segala arah, hingga menjamah sarang laba-laba di puncak pintu. Laron yang terperangkap dalam jebakan laba-laba itu menggeliat kejerian, mengira bayangan tersebut adalah bayangan sang pemangsanya.

Mulanya, rayap bersayap itu terpikat dengan sinar lampu yang melelehkan air liur di luar ruangan. Namun, sarang laba-laba membantut jalan serangga sosial itu dan membungkus dirinya dalam perekat yang mengikat erat dirinya. Beruntung, serangga berkaki delapan itu tidak di rumah untuk menikmati hidangannya.

Keputusasaan merangkul tubuh laron itu seperti selimut di musim dingin. Antenanya merunduk pasrah. Tidak ada harapan untuknya bersua dengan lampu yang diidam-idamkannya lagi. Bayangan mengerubunginya seluruh, sehingga hanya hitam yang tampak di matanya.

Ternyata, bayangan yang ditakutkan serangga fanatik cahaya lampu itu bukan milik laba-laba, melainkan milik seorang manusia tua. Mata raksasa manusia itu mengunjungi serangga yang terkungkung dalam serat lengket di atas pintu. Tangan-tangan lembut manusia itu membebaskan laron itu dari jeratan penderitaan yang menenggelamkannya dalam keputusasaan.

"Sekarang kau bebas," kata Ayah kepada rayap bersayap itu.

"Apa yang Ayah lakukan malam-malam begini?" tanyaku.

"Aku mendengar kau sakit karena mencari Luna," kata Ayah menyeret kursi untuk duduk di sampingku. "Ceritakan kepadaku."

Tanganku merangkulnya. Sunyi mencengkeram aku dan Ayah selama 30 menit. Setelah itu, aku melukiskan kepedihanku dalam kata-kata tentang kehilangan Luna, putri tercintaku. Jika saja aku dapat menitiskan air mata, ini akan seperti hujan di Tanah Bogor.

"Ingin mendengar cerita tentang istri pertamaku?" tanya Ayah. "Kau tahu, mendengar cerita mampu menghilangkan sakit, baik dalam hati maupun fisik."

"Coba," kataku menerbitkan secercah senyum di ronaku.

---------------------------oOo---------------------------

Itu begitu indah di masa lalu, terutama saat aku menyelam untuk memungut rumput laut di dasar laut. Karang dan ikan menyambutku dengan hangat. Ketika menggapai permukaan, aku menjumpai pantai dengan pohon kelapa yang melambai-lambai. Di pasir, duduk manis seorang gadis ayu nan jelita. Gadis itu mengenakan topi anyaman bundar seperti petani dengan gaun putih dekil bagai putri di Negeri Kumuh. Tampak dari permukaan laut, gadis itu sedang menorehkan pena di bukunya, di bawah bayangan pohon kelapa.

Aku berselulup dan membubut beberapa rumput laut. Kemudian, merangkak pelan di pinggir pantai seperti kura-kura. Aku mendirikan diriku di belakang gadis itu dengan kostum rumput laut yang menutupi seluruh tubuhku, sehingga tak tampak kemanusiaan dalam diriku, hanya monster.

Kepalanya menoleh perlahan dan menjumpai hantu rumput laut di belakangnya. Gadis itu pun terperanjat dan merebah takut dengan pasir basah sebagai alasnya. Di saat itulah aku terbahak-bahak dengan jahatnya.

"Siapa kau sebenarnya?!" bentak gadis itu. "Mengagetkan saja!"

"Kau sendiri siapa di sini?" tanyaku.

Gadis itu mengembuskan napas yang kesal dan marah mengalir keluar bersama udara. "Namaku Mariah. Aku berasal dari desa sebelah." Gadis itu menawarkan jabat tangan, meskipun tanganku carut kuyup.

Mariah adalah anak petani dan nelayan. Bapak Mariah menunggu padi-padinya mekar dengan meraup beberapa ikan di sini. Mariah serta bapak dan ibunya tinggal sementara di rumah saudara jauh ibunya dengan persyaratan Mariah dan ibunya bekerja sebagai pembantu di rumah tersebut.

Secepat mungkin, aku dan Mariah menjadi sahabat dekat. Kami seperti penghapus dan pensil atau penggembala dan dombanya. Kami saling bertukar ilmu. Aku mengajarinya menjelajahi lautan, Mariah mengajariku bercocok tanam. Aku memperlihatkannya ribuan ikan, Mariah memperlihatkanku dunia tanaman. Aku memperkenalkannya dengan jutaan bintang di ujung khatulistiwa malam, Mariah memperkenalkanku dengan hamparan hijau yang mengendurkan rahang.

Lakon SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang