Bab 4 : Tumbuh...

61 4 0
                                    

Juli 1992 akan selalu kuingat karena pada akhirnya aku melahap pendidikan. Bukan hanya itu, aku juga mendapatkan bonus atas anugerah ini berupa teman atau lebih tepatnya saudari, Selasa. Aku dan Selasa duduk di meja yang sama saat jenjang pertama di SD.

Jarang sekali Selasa berbicara. Kebungkaman mulutnya bukan hanya kepadaku, melainkan kepada setiap orang termasuk guru. Jika pun membuka mulut, itu adalah hal yang sangat vital untuknya. Karena itulah orang-orang memberikan julukan "robot" kepadanya. Label-label yang menempel di dahi Selasa menjadikannya tidak mempunyai teman sama sekali kecuali aku, saudari perempuannya.

Selain menemukan sifat Selasa, tidak ada hal yang menarik selama perjalanan di Sekolah Dasar. Tingkat kecerdasan aku dan Selasa tidak terlalu jauh; aku bersinar, tetapi Selasa jauh lebih berkilau; aku hanya menduduki urutan kedua di kelas. Kami saling memacu otak untuk berdiri di puncak yang paling tinggi. Kalender berganti dengan cepat dengan adanya kompetisi kasatmata ini.

Saat memakai seragam putih biru, aku kembali menemukan Selasa sebagai sainganku, hanya kami tidak menempati meja yang sama; Selasa duduk di kelas yang berbeda denganku. Seperti biasa, Selasa sendirian. Tidak ada menopang punggungnya yang semakin membungkuk karena membaca buku. Aku sering menikmati kudapan bersamanya saat istirahat, meskipun mulut Selasa masih menyeringai kepadaku.

Ada satu hal di SMP yang mengubah diriku dalam menyikapi penyakitku. Ada seorang laki-laki—mungkin pada saat itu dia tidak menggunakan otaknya—menikamkan pulpen di punggungku saat guru berceramah di depan. Rona merah memenuhi wajah. Khilaf, aku menelungkupkan meja. Semua siswa menusukku dengan pandangan tak bersahabat dengan desis-desis ular berbisa di antara mereka.

Kata 'aneh' seperti tercoreng jelas di dahiku. Setiap aku melintasi gerombolan, pasti selalu ada bisik-bisik gaib yang menyertai. Telunjuk-telunjuk hina pun selalu mengarahku. Mata orang-orang kini tak lebih dari mata anak-anak kota yang baru melihat babi di desa. Aku tidak mau orang-orang memandangku seperti itu. Oleh karena itu, untuk seterusnya, aku, Ibu, dan Selasa mengunci rapat-rapat rahasia tentang penyakitku.

Bumi berevolusi tiga kali. Kami lulus dengan memuaskan. Seragam putih abu-abu pun telah dibersihkan dari debu. SMA adalah tahapan yang paling membosankan, tetapi juga paling menarik karena di sini aku menemukan seorang laki-laki yang menarik, Bintang Bintara. Laki-laki yang suka menjajarkan kakinya dengan kepala ini mempunyai cita-cita yang sama denganku, yaitu menjadi dokter. Tidak seperti yang lain, laki-laki berambisi tinggi ini lebih suka memojokkan dirinya dengan buku daripada menendang bola. Kecerdasannya pun di atas garis rata-rata. Laki-laki dengan tinggi 160 cm berwajah oriental ini adalah idola beberapa wanita di kelas. Namun, sikapnya yang aneh membuat mereka sedikit menjaga jarak.

Aku tidak terkejut lagi menemukan Selasa satu sekolah denganku. Kali ini, kami duduk di meja yang sama lagi, seperti saat Sekolah Dasar. Tidak banyak yang berubah dari diri Selasa. Dia masih pendiam, rampus, jarang tertawa dan tersenyum, sampai-sampai julukan "robot" dinobatkan kembali padanya. Mungkin yang tidak statis adalah aku. Suka bertengkar, hiperaktif, ingin bebas, dan suka membantah sudah biasa kudengar dari mulut orang-orang untuk mereferensikan diriku. Aku tidak tahu mengapa, tetapi aku selalu ingin mencapai puncak, meskipun harus bermain siku.

Setidaknya, dalam sebulan, ada satu orang yang kulukai atau aku yang terluka. Ibu sampai bolak-balik dari rumah sakit ke sekolah hanya untuk memberikan perhatian medis kepadaku, meskipun hanya luka sebesar gigitan semut. Bukan hanya itu saja, pada hal-hal kecil seperti menerobos geremis pun, Ibu panik bukan main.

"Kenapa harus seperti ini setiap hari?" tanyaku. "Aku sudah besar."

Ibu terus memaksaku untuk mengemut termometer.

"Kau harus tetap menjaga dirimu. Di luar sedang kacau."

"Itu hanya hujan. Lagi pula, banyak anak-anak lain yang berhujan-hujanan. Ini hanya CIPA bukan leukemia. Kau tidak perlu memperlakukan begini."

Lakon SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang